Jika saja perencanaan di tingkat kabupaten/ kotamadya menggunakan data BPS, maka seharusnya ketimpangan tidak terlalu besar di masyarakat; tetapi apakah data yang dikeluarkan setiap tahunnya dari BPS sudah benar-benar mencerminkan kondisi masyarakat sesungguhnya? Atau apakah ada perbedaan penetapan kriteria penduduk miskin? Namun, apapun intinya, masalah ini sangat terkait dengan data!
Hasil melakukan penelurusan terhadap data persentase penduduk miskin yang tercantum pada Kabupaten Dalam Angka dengan Laporan Kemiskinan BPS pada tahun yang sama yaitu 2018 menemukan dua poin berikut:
- Sebanyak 18 kabupaten tidak memiliki data kemiskinan
- Sebanyak 122 daerah memiliki perbedaan data persentase penduduk miskin lebih dari 1% antara data yang tersedia di dalam Kabupaten Dalam Angka dan Laporan Data dan Informasi Kemiskinan BPS.
Hal ini menggambarkan betapa negara kita kekurangan data yang tepat. Dalam hal ini, data mana yang akan dipakai? Data mana yang benar? Apakah dinas sosial memiliki lagi data yang lain? Â Melihat hal ini, sangatlah wajar apabila terjadi perbedaan-perbedaan dan kisruh-kisruh dalam pembagian bantuan sosial baik pada masa pandemi; lha wong sumber data nya saja tidak tahu pakai yang mana? Apa mungkin data penduduk miskin akan lebih valid saat dekat Pilkada? Hmmm...
Belajar dari hal ini, negara kita harus berbenah terkait urusan dengan data. BPS yang mengeluarkan data kemiskinan harus dapat memastikan data tersebut benar sehingga pemerintah daerah dapat menjadikannya sebagai acuan dalam membuat kebijakan. Sekarang ini, kita baru bicara data kemiskinan, kita belum bicara data lain misalnya angka penggangguran, angka perceraian, dll. Satu variabel ini saja kita morat marit, gimana dengan yang lain....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H