Oh ya adakah di antara pembaca yang bertanya di dalam hati,  kenapa walau secara umum tulisan ini ditujukan untuk orangtua tapi ujung-ujungnya mengarah pada himbauan terhadap  IBU? Benar, memang itu kesengajaan penulis.Â
Al-Qur'an lebih banyak mendokumentasikan interaksi ayah dan anak. Maka motivasi penulis untuk menyemangati para ibu adalah kedudukan mereka yang tinggi terhadap anak-anaknya. Ibu adalah guru pertama dan utama bagi anaknya. Merekalah yang memiliki kelembutan hati, kreativitas dan kefasihan dalam bertutur.
Semoga para ibu semakin bersemangat, setidaknya ketika mereka menyadari bahwa anak-anak mereka akan menjadi para pemimpin di hari depannya.
Amanah sekaligus tantangan di waktu malam ini sesungguhnya meringankan tugasnya dalam membentuk kepribadian anak-anaknya. Ibu boleh merasa bahagia saat menjawab tantangan itu. Â
Apa yang mereka ajarkan akan diteruskan kepada keturunannya. Rosulullah Shalallahu 'alaihi wasalam bersabda: " Seorang wanita (istri) adalah menjadi pemimpin bagi rumah dan anaknya, dan dia bertanggungjawab atas mereka." (HR. Bukhari)
Dunia  berputar semakin cepat.  Urusan manusia begitu padat. Relasi keluarga hampir tanpa perekat, ketika waktu kebersamaan nyaris aus tak berbekas. Dalam sebuah keluarga masa kini, orang tua dan anak sama-sama sibuk.Â
Jadi serangkai waktu menjelang tidur yang ditata  Allah secara eksklusif dan sempurna seolah menjadi amanah sekaligus kekuatan orang tua untuk membekali generasi penerusnya. Orang tua secara hirarki adalah dai  yang paling  berkewajiban menyampaikan dakwah kepada anak-anaknya.
Mengapa waktu eksklusif menjelang tidur menjadi kekuatan khusus orang tua? Karena seorang dai harus memahami 'bahasa kaum' yang didakwahinya. Adakah yang lebih memahami karakter, kebiasaan,  keunikan maupun  problema pada seorang anak dibandingkan orang tuanya?Â
Pemahaman dan kedekatan itu akan menuntun orang tua untuk secara tepat memilih konten dan metode penyampaian dakwahnya. Karena dia akan menghidupkan Al-Qur'an dalam jiwa dan pikiran anaknya, melalui kisa-kisah yang mengandung hikmah serta nasehat yang paling mengena namun TIDAK MENYUDUTKAN ANAK. Hanya orang tua yang paling bisa mendeteksinya.
Cahaya Al-Qur'an hadir untuk seluruh umat manusia dengan berbagai  kepribadian, persoalan, strata kehidupan maupun usia mereka. Nilai-nilai apakah yang hendak ditanamkan pada seorang anak? Anak-anak kita menghadapi ancaman yang jauh lebih beragam dan mencekam. Â
Mulai dari bullying, LGBT, pergaulan bebas, kecanduan gadget,  narkoba hingga krisis identitas atau kepribadian. Al-Qur'an tak pernah ketinggalan zaman, mampu menjawab semua persoalan kepengasuhan. Orang tua hanya perlu mengenali peta  pemikiran anak. Ibroh apakah yang paling dibutuhkan  untuk  mewakili hati dan persoalan buah hatinya?
Ketika  lisan seorang dewasa menyampaikan tahapan-tahapan kisah,  anak pun memvisualisasikannya  dalam otaknya. Menjadi seperti film yang  tengah diputar.Â
Apalagi jika ia mulai dihinggapi kantuk, gambarannya semakin bening dan nyata. Ini pengalaman pribadi saya  sebagai penyuka kisah sebelum tidur pada masa kanak-kanak dulu. Bahkan sebelum mengenyam bangku sekolah.
Sampai sekarang saya masih dengan baik menyimpan adegan-adegan cerita anak itu dalam ingatan. Eh, ternyata anak-anak saya pun begitu. Padahal itu hanyalah kisah  rekaan biasa. Nancep banget ya!Â
Bagaimana pula  kalau kisahnya dinukil dari Al-Qur'an? Karena kisah-kisah di dalamnya selain bersih dari unsur rekaan, juga  disampaikan dengan cara yang sangat indah, menarik dan sarat hikmah.
Kita ambil saja sebagai contohnya kisah tentang keluarga Nabi Ya'kub a.s. dalam surat Yusuf. Allah menempatkan mimpi Yusuf kecil sebagai adegan pembukaannya.
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS. Yusuf 12:4)
Dalam visualisasi pikiran anak segera terpampang layar kolosal yang menampilkan  pesona kolaborasi  benda-benda langit dalam mimpi Yusuf. Bagaimana tidak? Bintang-bintang dan rembulan hanya nampak jelas oleh netra kita di waktu malam.Â
Dalam kisah ini,  perhiasan alam  itu bersanding bersama. Betapa gemilangnya langit  malam. Betapa  bercahayanya semesta. Dan benda-benda langit yang seluruhnya berjumlah sebelas itu bersujud pada seorang anak kecil.
Ketika si bocah menceritakannya pada ayahnya, sang ayah justru menahannya agar menyimpan mimpi itu. Jangankan Yusuf kecil, kita saja pasti sangat berhasrat segera mengetahui maknanya.Â
Namun di dalam Al-Qur'an, isyaroh agung  mimpi itu sengaja ditangguhkan sebagai antiklimaks perjalanan hidup seorang Nabi yang hidupnya penuh lika-liku.Â
Seluruh kisah dalam surat itu bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk  menjadi fragmen demi fragmen  yang sangat dinantikan anak setiap malamnya.
Larangan Nabi Ya'kub terhadap Yusuf mengajarkan tentang insting tajam seorang ayah untuk melindungi anaknya dari mara bahaya. Sepak-terjang dan pertentangan di antara  saudara-saudara Yusuf dalam menyusun tipu-muslihat mereka menyiratkan tentang pergolakan nafsu manusia yang terpedaya oleh setan. Mengiringi penyampaian secara verbal kisahnya, bermunculan pula adegan seru dalam pikiran anak menurut persepsi mereka masing-masing.
Anak sedang menimbang nilai-nilai di balik perilaku bullying terhadap Yusuf. Suasana malam menambah mencekam gambaran adegan saat Yusuf dijebloskan ke dalam sebuah sumur kering yang dalam dan gelap. Teraniaya. Ketakutan. Tak berdaya. Namun ada campur tangan kasat mata yang menguatkannya ketika ia menerima wahyu dari Rabb-nya.
Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur, Kami wahyukan kepadanya, "Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka, sedang mereka tidak menyadari." (QS. Yusuf 12:15)
Yusuf kecil yang terkungkung di dalam sumur itu tentu merasa sangat terhibur dengan wahyu itu. Pasti ia menjadi tenang dan tidak ketakutan lagi. Satu lagi nilai yang bisa dipetik oleh anak yang sedang mendengar cerita ini dari orang tuanya.Â
Bahwa hidup tak selalu mudah. Bahkan seorang anak kecil bisa diuji dengan cara dipisahkan dari orang tuanya. Namun sekaligus anak memperoleh gambaran yang nyata, Â bahwa ada yang selalu menjaganya melebihi penjagaan orang tuanya. Ada yang mencintainya melebihi kadar kecintaan orang tua terhadapnya. Dialah Allah. Zat pemilik otoritas tunggal yang Maha Pandai dan Maha Mengawasi.
-Bersambung-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H