Bahwa seorang pemimpin yang memiliki cinta yang murni dan tulus dituntut untuk tidak sekadar menjalankan demokrasi yang prosedural semata, lalu mengabaikan demokrasi yang substantif. Demokrasi yang prosedural hanya akan melahirkan karakter dan arah pembangunan yang pasif.
Ia yang memiliki cinta yang murni dan tulus tentu selalu punya naluri yang tajam, juga nyali yang besar untuk membuat terobosan dalam upaya peningkatan pendapatan ekonomi desa. Ia yang tangkas dan berani mengambil siasat dan kebijakan demokratis tanpa tedeng aling-aling demi kepentingan masyarakatnya.
Masyarakat pemilih tentu berharap tidak salah menaruh hati. Tidak salah meletakan harapan. Agar terciptanya kehidupan desa yang harmonis. Satu menit menjadi penentu baik-buruknya tata kelola pemerintahan dan pembangunan desa selama enam tahun.
Selain dijadikan momentum evaluasi, Pilkades bukan soal memilih calon pemimpin yang terbaik. Melainkan agar yang tidak baik tidak terpilih menjadi pemimpin. Bukan hanya visi, misi, dan program kerja, rekam jejak pun menjadi rujukan.
Rasa-rasanya menjadi pemimpin di desa jauh lebih berat dari pada kerjanya bapak/ibu yang ada di gedung de-pe-er. Di sana tidak sedikit yang datang hanya ketawa-ketiwi, terima suap, tidur-tiduran, lalu pulang. Tiap bulan terima duit. Enak.
Seorang kepala desa tidurnya tidak akan pulas. Sebab, ia berada di tengah-tengah masyarakat. Selau mendengar kasak-kusuk dan keluhan. Mata dan telinganya nyaris aktif dua puluh empat jam. Ia selalu diawasi oleh masyarakatnya.
Segala macam persoalan di Desa diletakan di atas pundaknya. Hanya cinta yang murni dan tulus membuat semuanya menjadi ringan. Sebagai seorang pemimpin, siap tidak siap, harus siap. Siap memikul beban. Siap menjalankan amanah penuh cinta.
Dalam sebuah kontestasi, ada menang dan kalah. Namun Pilkades bukan Pil-KB, bukan pula ajang adu jotos. Menang siap merangkul yang tercecer, sedang yang kalah harus legowo. Namun, jika ada indikasi kecurangan, wajib digugat.
Rekonsiliasi pasca Pilkades menjadi perlu. Agar masyarakat tidak menjadi korban. Agar terciptanya kerukunan dalam kehidupan berdesa. Kritik dan saran adalah roh demokrasi, maka ruang partisipasi mesti dibuka. Agar gotong royong tetap tumbuh. Agar roda pembangunan dapat berjalan sesuai harapan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H