Genderang kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak tahun 2021 sudah ditabuh. Di Kabupaten Flores Timur, NTT ada 118 Desa yang menyelenggarakan hajatan demokrasi di wilayah administrasinya masing-masing.Â
Tak lama lagi masyarakat pemilih ramai-ramai ke TPS. Tensinya sudah mulai terasa hangat. Figur-figur dari kalangan usia muda pun bermunculan. Ya, orang muda semestinya lebih banyak yang mengambil peran dari Desa. Sebab Desa adalah jantung Indonesia.
Memang orang muda diyakini memiliki idealisme yang tinggi, integritas yang kuat, arah pandang yang visioner, daya juang yang tangguh, serta memiliki koneksi dan relasi. Namun bukan berarti golongan tua luput dari hal tersebut. Usia bukan jadi ukuran. Tua atau muda bukan jaminan.
Kendatipun hanya enam tahun, Pilkades tak ubahnya memilih pasangan hidup. Sebagaimana memilih calon kepala keluarga yang bertanggung jawab. Pilihan yang berlandaskan cinta. Memilih calon pemimpin yang memiliki cinta yang murni dan tulus tanpa ada motivasi gelap.
Lantas, cinta yang murni dan tulus dari seorang pemimpin itu seperti apa? Tidak lain, ia yang rela berkorban demi kepentingan masyarakat banyak. Memiliki visi, misi, dan program kerja yang realistis lagi proporsional sesuai skala prioritas; kebutuhan penting dan genting. Baik pembangunan fisik, maupun non fisik.
Selain memiliki kemampuan menejerial yang baik, mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan, sampai tahap evaluasi, menjadi seorang pemimpin ia mesti memiliki strategi yang mampuni dalam membangun Desa.
Sebagai misal, bila Pendapatan Asli Desa (PAD) yang minim, bahkan kosong melompong di tengah pandemik Covid-19, strategi dan solusi pemecahan masalah seperti apa yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin? Program dan anggaran bidang pemberdayaan dan ekonomi produktif menjadi titik bidik, bukan?
Lain lagi, apa alternatif solutif bila belanja operasional dan insentif RT, RW, Linmas dan Lembaga Kemasyarakatan lainnya yang masih jauh dari kata pantas untuk tidak dibilang kasihan, karena didikte dengan regulasi prioritas penggunaan Dana Desa (DD)? Apa mungkin belanja perjalanan dinas atau konsumsi rapat dapat ditaktisi? Relakah?
Bagaimana caranya bila kesejahteraan guru honorer SD, gedung sekolah, Â atau gereja yang sudah reot, namun tidak dapat dipangkukan dalam APBDes karena tidak sinergis dengan nomenkelatur dan parameter?
Bila demikian, apakah terus menunggu pemerintah daerah dan pemerintah pusat? Dan masih banyak persoalan mendesak lain yang tidak sedikit ditangguhkan oleh karena sistem dan aturan yang jelimet, cenderung kaku dan berubah-ubah.