Mohon tunggu...
Tino Watowuan
Tino Watowuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - MDW

Orang kampung; lahir, tinggal, dan betah di kampung.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Untuk Lulusan Sarjana, Pulang Kampung atau Tetap di Kota?

7 Desember 2019   09:34 Diperbarui: 9 Desember 2019   19:18 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kita ditanya, lebih nyaman hidup di Kota atau di Desa, tentu lebih banyak orang ramai-ramai menjawab lebih nyaman di Desa. Kenapa? Ya, karena selain jauh dari keramaian deruh mesin dan tawa ria manusia-manusia modern, di Desa tidak semua makanan harus pake duit. Sebab mayoritas masyarakatnya adalah petani.

Tetapi khusus untuk orang-orang setelah lulus sarjana, apakah sudah siap pulang ke kampung, atau malah memilih menetap di kota, atau mungkin memilih merantau lagi ke kota yang lain? Jawaban dan alasannya tentu berbeda-beda. Bahkan ada yang merasa sangat dilematis.

Memilih untuk tetap di kota itu, atau ke kota yang lain, selain alasan yang lain, mungkin saja karena dia telah memahami suasana Desa; susahnya cari pekerjaan di Desa.

Benar, mendapatkan pekerjaan yang layak di desa sesuai dengan gelar yang diperoleh memang tidak mudah. Apalagi zaman sekarang, apa-apa selalu bersinggungan dengan "orang dalam." Entahlah orang dalam itu seperti apa. Saya juga belum mengetahui batang hidungnya. Sebab saya tidak pernah merasakan hal seperti itu. Seblumnya saya mengira orang dalam adalah salah satu jurusan di bangku perkuliahan. Ternyata tidak.

Itu pun setelah dijelaskan oleh teman saya yang kini banting setir menjadi pengusaha. Hanya karena honornya tidak cukup untuk beli belis (gading). Bahkan untuk kencan malam minggu bersama jantung hatinya saja tidak cukup. Belum lagi beli rokok untuk sogok calon bapa mantunya saat ke rumah untuk jemput. Untung saja dijelaskan, hampir-hampir saya mau kuliah lagi dengan jurusan orang dalam. Gelar pasti bertamabah, dan lain dari pada yang lain. Contoh; Mohon Doa Restu, S.Pd, OD. Hahaha.

Eh, kenapa otak saya sudah berkeluyuran seperti ini. Baiklah, kembali ke laptop. Tahukah kalian bahwa Desa yang sepi ternyata tidak selamanya benar-benar nyaman? Hal ini terjadi sejak nganggur atau sudah kerja dan layak tidaknya pekerjaan diukur dari seberapa kinclongnya penampilan seseorng dengan memakai seragam, dan sesuai latar pendidikannya.

Jangan jauh-jauh, di kampung saya, melihat ada orang yang lulusan sarjana yang bekerja sebagai tenaga lapangan Koprasi Kredit yang notabene tidak paralel dengan basic ilmunya dari rumah ke rumah untuk melakukan penagihan dengan mengenakan pakian seadanya, menjadi buah bibir orang kampung.

Ributnya melebihi para netizen gaduh berdebat prihal Ahok dipilih menjadi Komut Pertamina. Padahal gaji mereka cukup tinggi. Apalagi kalau seorang sarjana yang memilih menjadi petani atau pengusaha, akan dianggap masih nganggur dan atau pekerjaan yang tidak layak.

Ya, sejak ada orang kampung yang berpikiran seperti itu. Barangkali menurut mereka pekerjaan yang layak dan dianggap sudah bekerja itu seperti Guru yang memakai khaki ke sekolah. Pegawai Bank yang seksi dengan lipstik yang kadang bikin nasabah gerogi. Atau Pegawai Kecamatan ke Kantor, yang mungkin saja hasil dari "orang dalam" dengan kualitas kerjanya yang mungkin "jangan ditanya memang." Upss, maaf loh ya.

Soal kesesuaian basic ilmu dengan pekerjaan, menurut tidak sedikit orang kampung, misalnya seorang dengan gelar Perawat atau Bidan harus bekerja di Rumah Sakit/Puskesmas. Bekerja di bidang lain yang tidak memakai seragam putih, yang mungkin gajinya lebih tinggi dari "Tenaga Sukarela" pun dianggap tidak layak. Bahkan dicap belum bekerja atau masih nganggur.

Sungguh. Nganggur atau sudah kerja dan layak tidaknya pekerjaan diukur dari penampilan dan sesui basicnya. Kendatipun pekerjaan lain yang tidak memakai seragam yang necis memiliki gaji lebih tinggi dari seorang Guru honorer, yang mungkin saja kini sedang membayangkan mulutnya om Nadiem berbusa-busa omong soal pendidikan itu.

Semoga Om Nadiem ini tidak hanya fokus seputar kurikulum, lalu melupakan nasip guru honorer. Om Nadiem perlu ingat bahwa jangan harap pendidikan kita bisa meningkat kalau "kampung tengah" tidak terisi. Pemerintah tidak bisa seenak perut berlindung di bawa kata "pengabdian dan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa." Kalau di Lamaholot, "gelekat."

Eh ngelantur lagi. Lanjut. Lalu ada lagi yang paling lucu, pernah bikin saya sakit perut. Bukan menceret ya Bro and Sis. Hehe. Begini, saat melihat ada sarjana yang bekeja sebagai Aparatur Desa, masih saja orang orang kampung yang kurang setuju. Mereka bilang begini: "Kok sarjana tapi kerja di Desa?" Loh, apa bedanya antara sarjana kerja di Bank atau Sekolah yang terletak di Desa dengan Aparatur Desa? Kan sama saja. Sama-sama di Desa, bukan?

Padahal sudah banyak sekali Aparatur maupun Kepala Desa berpendidikan sarjana S-1, bahkan ada Kepala Desanya S-2. Kalau di kota-kota besar banyak RT/RW yang sarjana. Kelola duit miliaran rupiah, dengan mekanisme pengelolaan, pelaporan, belum lagi regulasi yang selalu beruba, dan tetek bengek lainnya, sarjana perlu!

Beruntunglah bagi orang yang lahir dan tinggal di kota, juga orang desa yang memilih di kota dengan kehidupan yang sangat individualis. Beruntunglah kalian yang masih nganggur ataupun punya pekerjaan yang tidak paralel dengan bidangnya.

Paling tidak kalian telah lolos dengan situasi semacam ini di Desa. Walaupun nanti juga akan pulang, dengan berbagai alasan sederhana maupun paling horor, misalnya sakit hampir sekarat, yang dalam penafsiran orang Lamaholot bahwa itu disebabkan "lewotana mayan balik." Hahaha.

Untuk para lulusan sarjana, mau pulang tinggal di Desa atau ingin tetap di Kota? Pulanglah, jangan cemas. Ini hanya cerita lepas, mungkin saja kampung kita memiliki kesamaan seperti ini. Bukan untuk menakut-nakuti. Semua pekerjaan sama saja, ujung-ujungnya duit. Zaman sekarang jangan terlalu berharap yang muluk-muluk.

Walaupun tulisan ini sangat ceracau, pun receh bin reme-teme, tapi paling tidak kalian bisa mempersiapkan hati dan batin kalau mau pulang kampung. Hehehe. Kadang saya berpikir, ini Desa membangun atau Dosa membangun? Kok pikiran kiwang bin kolot masih ada di zaman +62 era 4.0 ini? Ngakak plus guling-guling sampe botak juga belum puas kayaknya, kalau begini. Hahaha

Mohon maaf untuk orang-orang yang sekampung dengan saya. Mungkin ada yang sepakat.  Ada pula yang tidak sepakat. Tapi tulisan ini betul-betul sesuai pengamatan saya.

Ada beberapa orang yang saya temui memiliki pemikiran seperti yang saya uraikan ini. Tanpa bermaksud untuk menjelekan, juga tidak sedang memfitna. Begitu, Bro and sis, yang baik hati dan tidak sombong. Sekian dan Terima kasih. Tuhan menyertai.*** (WT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun