Semoga Om Nadiem ini tidak hanya fokus seputar kurikulum, lalu melupakan nasip guru honorer. Om Nadiem perlu ingat bahwa jangan harap pendidikan kita bisa meningkat kalau "kampung tengah" tidak terisi. Pemerintah tidak bisa seenak perut berlindung di bawa kata "pengabdian dan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa." Kalau di Lamaholot, "gelekat."
Eh ngelantur lagi. Lanjut. Lalu ada lagi yang paling lucu, pernah bikin saya sakit perut. Bukan menceret ya Bro and Sis. Hehe. Begini, saat melihat ada sarjana yang bekeja sebagai Aparatur Desa, masih saja orang orang kampung yang kurang setuju. Mereka bilang begini: "Kok sarjana tapi kerja di Desa?" Loh, apa bedanya antara sarjana kerja di Bank atau Sekolah yang terletak di Desa dengan Aparatur Desa? Kan sama saja. Sama-sama di Desa, bukan?
Padahal sudah banyak sekali Aparatur maupun Kepala Desa berpendidikan sarjana S-1, bahkan ada Kepala Desanya S-2. Kalau di kota-kota besar banyak RT/RW yang sarjana. Kelola duit miliaran rupiah, dengan mekanisme pengelolaan, pelaporan, belum lagi regulasi yang selalu beruba, dan tetek bengek lainnya, sarjana perlu!
Beruntunglah bagi orang yang lahir dan tinggal di kota, juga orang desa yang memilih di kota dengan kehidupan yang sangat individualis. Beruntunglah kalian yang masih nganggur ataupun punya pekerjaan yang tidak paralel dengan bidangnya.
Paling tidak kalian telah lolos dengan situasi semacam ini di Desa. Walaupun nanti juga akan pulang, dengan berbagai alasan sederhana maupun paling horor, misalnya sakit hampir sekarat, yang dalam penafsiran orang Lamaholot bahwa itu disebabkan "lewotana mayan balik."Â Hahaha.
Untuk para lulusan sarjana, mau pulang tinggal di Desa atau ingin tetap di Kota? Pulanglah, jangan cemas. Ini hanya cerita lepas, mungkin saja kampung kita memiliki kesamaan seperti ini. Bukan untuk menakut-nakuti. Semua pekerjaan sama saja, ujung-ujungnya duit. Zaman sekarang jangan terlalu berharap yang muluk-muluk.
Walaupun tulisan ini sangat ceracau, pun receh bin reme-teme, tapi paling tidak kalian bisa mempersiapkan hati dan batin kalau mau pulang kampung. Hehehe. Kadang saya berpikir, ini Desa membangun atau Dosa membangun? Kok pikiran kiwang bin kolot masih ada di zaman +62 era 4.0 ini? Ngakak plus guling-guling sampe botak juga belum puas kayaknya, kalau begini. Hahaha
Mohon maaf untuk orang-orang yang sekampung dengan saya. Mungkin ada yang sepakat. Â Ada pula yang tidak sepakat. Tapi tulisan ini betul-betul sesuai pengamatan saya.
Ada beberapa orang yang saya temui memiliki pemikiran seperti yang saya uraikan ini. Tanpa bermaksud untuk menjelekan, juga tidak sedang memfitna. Begitu, Bro and sis, yang baik hati dan tidak sombong. Sekian dan Terima kasih. Tuhan menyertai.*** (WT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H