Ketika kita ditanya, lebih nyaman hidup di Kota atau di Desa, tentu lebih banyak orang ramai-ramai menjawab lebih nyaman di Desa. Kenapa? Ya, karena selain jauh dari keramaian deruh mesin dan tawa ria manusia-manusia modern, di Desa tidak semua makanan harus pake duit. Sebab mayoritas masyarakatnya adalah petani.
Tetapi khusus untuk orang-orang setelah lulus sarjana, apakah sudah siap pulang ke kampung, atau malah memilih menetap di kota, atau mungkin memilih merantau lagi ke kota yang lain? Jawaban dan alasannya tentu berbeda-beda. Bahkan ada yang merasa sangat dilematis.
Memilih untuk tetap di kota itu, atau ke kota yang lain, selain alasan yang lain, mungkin saja karena dia telah memahami suasana Desa; susahnya cari pekerjaan di Desa.
Benar, mendapatkan pekerjaan yang layak di desa sesuai dengan gelar yang diperoleh memang tidak mudah. Apalagi zaman sekarang, apa-apa selalu bersinggungan dengan "orang dalam." Entahlah orang dalam itu seperti apa. Saya juga belum mengetahui batang hidungnya. Sebab saya tidak pernah merasakan hal seperti itu. Seblumnya saya mengira orang dalam adalah salah satu jurusan di bangku perkuliahan. Ternyata tidak.
Itu pun setelah dijelaskan oleh teman saya yang kini banting setir menjadi pengusaha. Hanya karena honornya tidak cukup untuk beli belis (gading). Bahkan untuk kencan malam minggu bersama jantung hatinya saja tidak cukup. Belum lagi beli rokok untuk sogok calon bapa mantunya saat ke rumah untuk jemput. Untung saja dijelaskan, hampir-hampir saya mau kuliah lagi dengan jurusan orang dalam. Gelar pasti bertamabah, dan lain dari pada yang lain. Contoh; Mohon Doa Restu, S.Pd, OD. Hahaha.
Eh, kenapa otak saya sudah berkeluyuran seperti ini. Baiklah, kembali ke laptop. Tahukah kalian bahwa Desa yang sepi ternyata tidak selamanya benar-benar nyaman? Hal ini terjadi sejak nganggur atau sudah kerja dan layak tidaknya pekerjaan diukur dari seberapa kinclongnya penampilan seseorng dengan memakai seragam, dan sesuai latar pendidikannya.
Jangan jauh-jauh, di kampung saya, melihat ada orang yang lulusan sarjana yang bekerja sebagai tenaga lapangan Koprasi Kredit yang notabene tidak paralel dengan basic ilmunya dari rumah ke rumah untuk melakukan penagihan dengan mengenakan pakian seadanya, menjadi buah bibir orang kampung.
Ributnya melebihi para netizen gaduh berdebat prihal Ahok dipilih menjadi Komut Pertamina. Padahal gaji mereka cukup tinggi. Apalagi kalau seorang sarjana yang memilih menjadi petani atau pengusaha, akan dianggap masih nganggur dan atau pekerjaan yang tidak layak.
Ya, sejak ada orang kampung yang berpikiran seperti itu. Barangkali menurut mereka pekerjaan yang layak dan dianggap sudah bekerja itu seperti Guru yang memakai khaki ke sekolah. Pegawai Bank yang seksi dengan lipstik yang kadang bikin nasabah gerogi. Atau Pegawai Kecamatan ke Kantor, yang mungkin saja hasil dari "orang dalam" dengan kualitas kerjanya yang mungkin "jangan ditanya memang." Upss, maaf loh ya.
Soal kesesuaian basic ilmu dengan pekerjaan, menurut tidak sedikit orang kampung, misalnya seorang dengan gelar Perawat atau Bidan harus bekerja di Rumah Sakit/Puskesmas. Bekerja di bidang lain yang tidak memakai seragam putih, yang mungkin gajinya lebih tinggi dari "Tenaga Sukarela" pun dianggap tidak layak. Bahkan dicap belum bekerja atau masih nganggur.
Sungguh. Nganggur atau sudah kerja dan layak tidaknya pekerjaan diukur dari penampilan dan sesui basicnya. Kendatipun pekerjaan lain yang tidak memakai seragam yang necis memiliki gaji lebih tinggi dari seorang Guru honorer, yang mungkin saja kini sedang membayangkan mulutnya om Nadiem berbusa-busa omong soal pendidikan itu.