Mohon tunggu...
Dewi Ya
Dewi Ya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I am Master of my Own Destiny

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bebas

17 Februari 2015   03:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kriiiiiiiinggggggg……

Bunyi bel membangunkanku dari tidurku. Padahal rasanya aku baru merebahkan diri beberapa detik yang lalu, dan tiba-tiba saja sudah jam 6 pagi. Tidak perlu melihat jam untuk tahu jam berapa sekarang, karena bel akan berbunyi setiap jam 6 pagi setiap harinya, tujuh kali seminggu. Tak pernah sekalipun selama tiga tahun aku disini bel tersebut berbunyi kurang atapu pun lebih semenitpun dari waktu yang seharusnya.


Pada awal-awal aku berada disini, aku sangat benci suara bel tersebut, benar-benar memekakkan telinga. Bel yang membuatku bangun dari tidurku. Bangun dari tidur yang membuatku melupakan semua memori yang pahit, yang membuatku mati rasa dan menghilangkan semua rasa sakit. Aku berharap aku dapat tidur selamanya. Tapi sayangnya aku tidak seberuntung itu.


Hari ini, suara bel itulah yang kutunggu-tunggu, suara bel yang menandakan bahwa hari ini telah datang, hari yang kutunggu-tunggu selama tiga tahun ini. Hari yang memberikan harapan, bahwa dalam belenggu pun, akan ada kebebasan yang menanti. Bagiku, hari kebebasan itu adalah hari ini.

Aku dengar petugas mulai mengecek para penghuni disini, memeriksa apakah masih ada yang tidur, yang rasaku tidak mungkin, karena suara bel tersebut rasa-rasanya bisa membangunkan seluruh penduduk Negara bagian.


Aku bangkit, lalu aku mulai menyikat gigi, mencuci muka, dan membersih kan diriku. Biasanya aku melakukan ritual ini dalam keadaan setengah sadar dengan mata mengantuk, tapi hari aku melakukannya dengan kesadaran yang penuh, bersemangat, dengan perasaan tidak sabaran.

Setelah melakukan ritual pagi, aku duduk diam saja di dalam diatas tempat tidur ku, biasanya aku membaca buku untuk menunggu bunyi bel berikutnya, bel makan pagi. Tapi hari ini aku hanya diam saja, memikirkan apa saja yang akan aku lakukan selepas keluar dari sini. Apa yang akan aku lakukan bila keluar dari sini?


Well, aku punya tabungan yang lumayan banyak, bagi orang tertentu tentu tidak banyak, tapi bagiku tentu saja uang hasil penjualan rumah, tetaplah dapat dikatakan banyak. Tapi apa aku hanya diam saja menghabiskan uang ku untuk hidup, tanpa melakukan apa pun? Bagaimanapun uang itu akan habis. Mungkin aku akan mencari pekerjaan, bukan karena aku desperately kekurangan uang, hanya saja rasanya aku tidak biasa hanya berdiam diri dirumah, tanpa melakukan apapun, sudah cukup aku berdiam diri disini selama tiga tahun. Tidak juga sih, selama tiga tahun disini aku punya banyak waktu untuk belajar hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kupelajari selama…..hidupku sebelum aku terjebak disini.


Aku menghabiskan waktuku dengan belajar bahasa perancis, tentang filosofi, dan membaca beberapa text book computer. Tentu saja aku bisa belajar dan membaca semua buku itu, mengingat aku punya waktu senggang yang tak terbatas selama disini.


Mungkin untuk permulaan, pekerjaan part-time, seperti yang kulakukan sewaktu masih mahasiswa dulu, menjadi kasir sekaligus pegawai toko buku tidaklah buruk, dari pada jadi pelayan restoran, bukan berarti itu pekerjaan cukup buruk, hanya saja bila aku bekerja di toko buku, aku akan bertemu lebih sedikit orang daripada aku bekerja sebagai pelayan restoran. Aku tidak suka bertemu banyak orang.


Tentu saja aku akan kembali tinggal di rumah ibuku yang dulu, rumahku satu-satunya, tempat aku kembali sejauh apapun aku pergi. Walaupun aku sudah tidak pernah tinggal disitu dalam lima tahun terakhir ini, setelah ibuku meninggal, aku tidak punya niat sedikitpun untuk menjualnya. Karena Rumah itu berisi kenangan yang sangat indah, kenangan ku bersama orang tuaku, sebelum ayahku pergi. Alasan lainnya aku mempertahankan rumah itu adalah apabila nantinya ayahku kembali, mungkin lima atau sepuluh tahun lagi, aku tidak menghitungnya, aku hanya berharap ayahku akan kembali kerumah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun