Mungkin tidak banyak lagi orang yang mengetahui dua anak manusia bernama Sengkon dan Karta. Apalagi keduanya sudah menghadap Sang Pencipta puluhan tahun lalu. Ya, nama Sengkon dan Karta kalah tenar ketimbang Ariel “Noah”. Bahkan Ely Sugigi mungkin jauh lebih dikenal ketimbang dua nama tadi. Paling banter nama Sengkon dan Karta hanya dikenal oleh penggiat hukum.
Tetapi dari peristiwa hidup yang mereka berdua alami, lahir sebuah tonggak revolusioner pembaharuan di bidang hukum pidana, yaitu Peninjauan Kembali (“PK”). PK adalah upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang hanya boleh diajukan oleh Terpidana atau ahli warisnya.
Almarhum Bung Karno pernah menyebutkan sebuah ungkapan yang hingga sekarang belum dilupakan, JAS MERAH alias JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH. Oleh karenanya sebelum bergerak lebih jauh, ada baiknya kita menyelami dulu sejarah dari dua “tokoh” ini yang memicu lahirnya upaya hukum luar biasa PK tersebut. Untuk itu kita harus mundur berpuluh tahun yang lalu, di mana si bapak yang selalu menjadi obyek dalam meme “penak jamanku toh?!” masih berkuasa dengan gagahnya.
Sebenarnya kehidupan Sengkon dan Karta di desa Cakung Payangan tidaklah seglamour orang-orang macam Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang saban hari mukanya nongol di televisi. Sengkon dan Karta hanyalah dua petani biasa dengan kehidupan yang biasa pula. Kehidupan biasa yang mereka berdua jalani terusik ketika di desa Bojongsari terjadi pembunuhan atas pasutri Sulaiman dan Siti Haya. Tidak hanya dibunuh tetapi harta benda yang dimiliki korban pun amblas. Segera saja peristiwa perampokan dan pembunuhan tersebut mendapat sorotan khalayak luas. Polisi pun segera bekerja untuk mengungkap kasus tersebut. Wusss, tak sampai memakan waktu lama, polisi pun mencokok Sengkon dan Karta.
Pemeriksaan pun lantas dilakukan polisi terhadap dua tersangka tersebut. Setelah lengkap, berkas Sengkon dan Karta kemudian diajukan ke pengadilan. Di muka persidangan, Sengkon dan Karta menyatakan diri tak bersalah dan mencabut berita acara pemeriksaan (“BAP”) atas diri mereka. Sengkon dan Karta terpaksa menandatangani BAP lantaran sudah tidak kuat lagi disiksa oleh penyidik kepolisian.
Hakim Djurnetty Soetrisno tetap berpegang pada dakwaan jaksa daripada bantahan kedua terdakwa. Pada Oktober 1974, pengadilan memvonis Sengkon selama 12 tahun penjara, sedangkan Karta diberi 7 tahun penjara. Mereka pun harus menikmati hotel prodeo Cipinang.
5 tahun berselang, Sengkon dan Karta bertemu dengan Genul yang masih berkerabat dengan Sengkon. Genul dipenjara atas kasus pencurian. Dari mulut Genul-lah, Sengkon dan Karta mendapat informasi penting. Genul mengaku di hadapan mereka bahwa dirinyalah yang membunuh dan merampok pasutri Sulaiman dan Siti Haya.
Atas pengakuan Genul tersebut, dunia hukum Indonesia pun tentu saja geger. Genul diajukan ke persidangan dan divonis 12 tahun penjara.
Bagaimana dengan Sengkon dan Karta?
Meskipun Genul yang membunuh dan sudah terbukti, Sengkon dan Karta tidak lantas bebas. Alasan dari para pemangku hukum kala itu adalah keputusan pemidanan atas diri Sengkon dan Karta sudah berkekuatan hukum tetap, jadi Sengkon dan Karta tetap harus menjalani hukuman tersebut. Argumentasi yang tentu saja konyol. Tapi apa daya, ketentuan hukumnya memang tidak membuka peluang untuk menganulir putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Adalah Albert Hasibuan, pengacara asal Jakarta, yang memperjuangkan pembebasan Sengkon dan Karta. Januari 1981, Ketua Mahkama Agung Oemar Seno Adji memerintahkan agar Sengkon dan Karta dibebaskan melalui jalur peninjauan kembali.
Lepas dari Cipinang tidak membuat hidup Sengkon dan Karta lebih baik. Keluarga mereka kocar kacir, harta benda ludes terjual untuk membiayai kehidupan keluarga dan biaya persidangan. Sengkon bahkan masih dapat “bonus” TBC hasil “mondok” di Cipinang.
Ketika diwawancarai oleh TEMPO, Sengkon menangis dan berkata lirih, “Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi.”
Akhir hidup mereka tidak seperti kisah Ayub yang berakhir bahagia. Karta tewas tertabrak truk. Sengkon pun mengikuti sahabatnya selama di penjara yang telah mendahuluinya. Ia menyerah tak tahan deraan TBC akut yang dideritanya.
Dari “pengorbanan” Sengkon dan Karta dunia hukum Indonesia mengecap lembaga hukum yang merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya untuk menggapai keadilan.
Sayang, nama Sengkon dan Karta lamat-lamat hilang ditiup angin perubahan zaman.
Nah, sekarang apa hubungan antara Sengkon dan Karta dengan Jessica?
Seperti yang telah saya jelaskan di atas, sejatinya peristiwa yang dialami oleh Sengkon dan Karta adalah penyalahgunaan hukum yang dilakukan oleh para pejabat hukum, mulai dari kepolisian, jaksa dan pengadilan. Proses peradilan Sengkon dan Karta adalah peradilan sesat. Tidak hanya sesat hukum tetapi juga sesat nurani.
Dalam kasus Sengkon dan Karta, polisi melakukan proses penyidikan yang tidak sebagaimana mestinya. Sengkon dan Karta harus mengalami penyiksaan agar mau menandatangani BAP. Sekalipun pada saat itu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) belum ada, tetapi cara-cara penyiksaan fisik yang dilakukan oleh penyidik kepolisian tidak akan pernah dibenarkan dibelahan negara mana pun di dalam menggali informasi. Cara tersebut hanya dilakukan di negara-negara yang dipimpin oleh diktator.
Alasan dari pembunuhan dan perampokan tersebut berlatar belakang, sesuai dakwaan jaksa, yakni rasa kesal, tidak puas atau pun sakit hati karena terdakwa tidak diberikan pinjaman uang oleh korban. Adapun korban hanya memberikan uang sebesar lima ratus rupiah. Pemberian uang itu, menurut dakwaan jaksa, dianggap menghina kedua terdakwa sehingga menimbulkan rasa sakit hati dan akhirnya karena itu kedua terdakwa melakukan pembunuhan terhadap diri korban.
Dalam proses persidangan pun, hakim mengabaikan pernyataan Sengkon dan Karta yang mencabut BAP karena dalam prosesnya mereka mengalami penyiksaan fisik. Hakim pun juga mengabaikan keganjilan-keganjilan dari keterangan saksi-saksi. Seperti keterangan salah seorang saksi yang dalam kegelapan berjarak sepuluh meter bisa mengenali salah satu terdakwa dari bentuk tubuhnya saja pada malam terjadinya pembunuhan.
Dan kesemua ini, rangkaian proses peradilan yang sesat, dipuncaki dengan tidak dapatnya Sengkon dan Karta dibebaskan dari penjara walaupun sudah ditemukan dan diadili orang yang sesungguhnya membunuh pasutri Sulaiman dan Siti Haya, hanya karena terbentur proses formal hukum. Jelas saja kenyataan tersebut mengoyak rasa kemanusiaan. Betapa para pemangku hukum kala itu mempertontonkan arogansi kekuasaan yang sangat buruk. Ironisnya itu semuanya dilakukan atas nama hukum.
Dari kisah Sengkon dan Karta itulah tulisan ini mengait kepada Jessica. Seperti diketahui bahwa Jessica menjadi tersangka atas tewasnya Mirna setelah meminum kopi yang diduga sudah diberi cairan sianida di sebuah kedai kopi di salah satu mal di pusat kota.
Sejak dari munculnya kejadian ini, seakan-akan semua isu ditembakkan ke pihak Jessica seorang. Mulai dari keterangan Jessica yang datang pertama kali dan kemudian memesan seluruh minuman, termasuk minuman yang nantinya diminum oleh Mirna. Lalu informasi mengenai bahwa Jessica membuang celana panjang yang dipakainya ketika peristiwa terjadi. Kemudian dipuncaki oleh isu miring soal orientasi seksual Jessica yang diduga lesbian dan pernah “dekat” dengan Mirna semasa menuntut studi di Australia.
Seolah-olah dari semuanya itu hendak dibangun opini bahwa Jessica yang adalah lesbian yang pernah “dekat” dengan Mirna cemburu karena Mirna ternyata telah menikah. Oleh karena kecemburuannya itulah maka Jessica lantas membunuh Mirna.
Kisah-kisah pembunuhan dengan latar belakang cinta memang lazim terjadi, apalagi kisah-kisah tersebut cukup banyak terjadi di kalangan yang mempunyai kelainan orientasi seksual (lesbian dan gay). Tetapi alasan itu tidak serta mutlak dapat dijadikan sebuah latar belakang atas terjadinya sebuah peristiwa pembunuhan.
Pada tahun 2007, Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto dijatuhi hukuman penjara karena membunuh Moh. Asrori. Skenario apa yang dibangun oleh pemangku hukum? Ya, Imam Chambali, yang mempunyai kelainan orientasi seksual, cemburu karena orang yang disukainya ternyata telah “berpacaran” dengan Moh. Asrori. Akhirnya, Imam Chambali bersama-sama dengan Devid Eko pun membunuh Moh. Asrori.
Bagaimana akhir dari kisah Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto? Sama seperti kasus Sengkon dan Karta, Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto bukanlah pembunuh Moh. Asrori. Pembunuh Asrori yang sebenarnya adalah Ferry Idham Henryansyah alias Ryan Jombang si pembunuh berantai yang tertangkap pada bulan Juli 2007 oleh Polda Jawa Timur.
Dari panjang lebarnya saya menuliskan tulisan ini, bukanlah berarti saya menganggap Jessica tidak bersalah. Yang saya inginkan adalah putusan bersalah atau tidak bersalahnya Jessica biarlah itu didapat melalui sebuah proses hukum yang serius, teliti dan profesional. Ungkapkanlah kebenaran sedalam-dalamnya. Jangan mengeluarkan suatu keputusan yang dipengaruhi oleh opini-opini yang masih simpang siur dan belum jelas kebenarannya. Terlebih lagi janganlah menjadikan suatu kemutlakan akan orientasi seksual seseorang menjadi alasan akan terjadinya peristiwa kejahatan pembunuhan. Kejahatan pembunuhan tidak hanya melulu soal masalah selangkangan orang per orang.
Bagi masyarakat Indonesia, sebaiknya belajarlah untuk tidak menjatuhkan penghakiman terlalu dini akan suatu hal yang belum pasti hasil akhirnya. Hal yang harus dipahami adalah setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap atau lebih dikenal dengan presumption of innocence. Ketentuan ini merupakan kemutlakan. Presumption of Innocence bukanlah aturan yang dicari-cari atau diada-adakan. Di setiap negara manapun di muka bumi ini, menganut ketentuan tersebut.
Jangan sampai Jessica menjadi Sengkon dan Karta selanjutnya...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI