Dari kisah Sengkon dan Karta itulah tulisan ini mengait kepada Jessica. Seperti diketahui bahwa Jessica menjadi tersangka atas tewasnya Mirna setelah meminum kopi yang diduga sudah diberi cairan sianida di sebuah kedai kopi di salah satu mal di pusat kota.
Sejak dari munculnya kejadian ini, seakan-akan semua isu ditembakkan ke pihak Jessica seorang. Mulai dari keterangan Jessica yang datang pertama kali dan kemudian memesan seluruh minuman, termasuk minuman yang nantinya diminum oleh Mirna. Lalu informasi mengenai bahwa Jessica membuang celana panjang yang dipakainya ketika peristiwa terjadi. Kemudian dipuncaki oleh isu miring soal orientasi seksual Jessica yang diduga lesbian dan pernah “dekat” dengan Mirna semasa menuntut studi di Australia.
Seolah-olah dari semuanya itu hendak dibangun opini bahwa Jessica yang adalah lesbian yang pernah “dekat” dengan Mirna cemburu karena Mirna ternyata telah menikah. Oleh karena kecemburuannya itulah maka Jessica lantas membunuh Mirna.
Kisah-kisah pembunuhan dengan latar belakang cinta memang lazim terjadi, apalagi kisah-kisah tersebut cukup banyak terjadi di kalangan yang mempunyai kelainan orientasi seksual (lesbian dan gay). Tetapi alasan itu tidak serta mutlak dapat dijadikan sebuah latar belakang atas terjadinya sebuah peristiwa pembunuhan.
Pada tahun 2007, Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto dijatuhi hukuman penjara karena membunuh Moh. Asrori. Skenario apa yang dibangun oleh pemangku hukum? Ya, Imam Chambali, yang mempunyai kelainan orientasi seksual, cemburu karena orang yang disukainya ternyata telah “berpacaran” dengan Moh. Asrori. Akhirnya, Imam Chambali bersama-sama dengan Devid Eko pun membunuh Moh. Asrori.
Bagaimana akhir dari kisah Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto? Sama seperti kasus Sengkon dan Karta, Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto bukanlah pembunuh Moh. Asrori. Pembunuh Asrori yang sebenarnya adalah Ferry Idham Henryansyah alias Ryan Jombang si pembunuh berantai yang tertangkap pada bulan Juli 2007 oleh Polda Jawa Timur.
Dari panjang lebarnya saya menuliskan tulisan ini, bukanlah berarti saya menganggap Jessica tidak bersalah. Yang saya inginkan adalah putusan bersalah atau tidak bersalahnya Jessica biarlah itu didapat melalui sebuah proses hukum yang serius, teliti dan profesional. Ungkapkanlah kebenaran sedalam-dalamnya. Jangan mengeluarkan suatu keputusan yang dipengaruhi oleh opini-opini yang masih simpang siur dan belum jelas kebenarannya. Terlebih lagi janganlah menjadikan suatu kemutlakan akan orientasi seksual seseorang menjadi alasan akan terjadinya peristiwa kejahatan pembunuhan. Kejahatan pembunuhan tidak hanya melulu soal masalah selangkangan orang per orang.
Bagi masyarakat Indonesia, sebaiknya belajarlah untuk tidak menjatuhkan penghakiman terlalu dini akan suatu hal yang belum pasti hasil akhirnya. Hal yang harus dipahami adalah setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap atau lebih dikenal dengan presumption of innocence. Ketentuan ini merupakan kemutlakan. Presumption of Innocence bukanlah aturan yang dicari-cari atau diada-adakan. Di setiap negara manapun di muka bumi ini, menganut ketentuan tersebut.
Jangan sampai Jessica menjadi Sengkon dan Karta selanjutnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H