Lepas dari Cipinang tidak membuat hidup Sengkon dan Karta lebih baik. Keluarga mereka kocar kacir, harta benda ludes terjual untuk membiayai kehidupan keluarga dan biaya persidangan. Sengkon bahkan masih dapat “bonus” TBC hasil “mondok” di Cipinang.
Ketika diwawancarai oleh TEMPO, Sengkon menangis dan berkata lirih, “Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi.”
Akhir hidup mereka tidak seperti kisah Ayub yang berakhir bahagia. Karta tewas tertabrak truk. Sengkon pun mengikuti sahabatnya selama di penjara yang telah mendahuluinya. Ia menyerah tak tahan deraan TBC akut yang dideritanya.
Dari “pengorbanan” Sengkon dan Karta dunia hukum Indonesia mengecap lembaga hukum yang merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya untuk menggapai keadilan.
Sayang, nama Sengkon dan Karta lamat-lamat hilang ditiup angin perubahan zaman.
Nah, sekarang apa hubungan antara Sengkon dan Karta dengan Jessica?
Seperti yang telah saya jelaskan di atas, sejatinya peristiwa yang dialami oleh Sengkon dan Karta adalah penyalahgunaan hukum yang dilakukan oleh para pejabat hukum, mulai dari kepolisian, jaksa dan pengadilan. Proses peradilan Sengkon dan Karta adalah peradilan sesat. Tidak hanya sesat hukum tetapi juga sesat nurani.
Dalam kasus Sengkon dan Karta, polisi melakukan proses penyidikan yang tidak sebagaimana mestinya. Sengkon dan Karta harus mengalami penyiksaan agar mau menandatangani BAP. Sekalipun pada saat itu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) belum ada, tetapi cara-cara penyiksaan fisik yang dilakukan oleh penyidik kepolisian tidak akan pernah dibenarkan dibelahan negara mana pun di dalam menggali informasi. Cara tersebut hanya dilakukan di negara-negara yang dipimpin oleh diktator.
Alasan dari pembunuhan dan perampokan tersebut berlatar belakang, sesuai dakwaan jaksa, yakni rasa kesal, tidak puas atau pun sakit hati karena terdakwa tidak diberikan pinjaman uang oleh korban. Adapun korban hanya memberikan uang sebesar lima ratus rupiah. Pemberian uang itu, menurut dakwaan jaksa, dianggap menghina kedua terdakwa sehingga menimbulkan rasa sakit hati dan akhirnya karena itu kedua terdakwa melakukan pembunuhan terhadap diri korban.
Dalam proses persidangan pun, hakim mengabaikan pernyataan Sengkon dan Karta yang mencabut BAP karena dalam prosesnya mereka mengalami penyiksaan fisik. Hakim pun juga mengabaikan keganjilan-keganjilan dari keterangan saksi-saksi. Seperti keterangan salah seorang saksi yang dalam kegelapan berjarak sepuluh meter bisa mengenali salah satu terdakwa dari bentuk tubuhnya saja pada malam terjadinya pembunuhan.
Dan kesemua ini, rangkaian proses peradilan yang sesat, dipuncaki dengan tidak dapatnya Sengkon dan Karta dibebaskan dari penjara walaupun sudah ditemukan dan diadili orang yang sesungguhnya membunuh pasutri Sulaiman dan Siti Haya, hanya karena terbentur proses formal hukum. Jelas saja kenyataan tersebut mengoyak rasa kemanusiaan. Betapa para pemangku hukum kala itu mempertontonkan arogansi kekuasaan yang sangat buruk. Ironisnya itu semuanya dilakukan atas nama hukum.