Indonesia memiliki beragam budaya yang terdapat dalam beberapa daerah. Salah satunya adalah budaya yang terdapat di kota Cilacap Jawa Tengah yaitu Sedekah Laut. Sedekah Laut merupakan sebuah tradisi yang terkait dengan akidah atau kepercayaan tertentu, tradisi ini merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat pesisir pantai kepada Tuhan Yang Maha Esa terhadap rezeki yang telah di terima.
Di wilayah pantai selatan tradisi sedekah laut juga dilaksanakan dengan memberi macam-macam sesaji seperti kepala kerbau, buah buahan hasil panen, sayuran, tumpeng, alat-alat kecantikan (make up) kepada yang mbau reksa yang menguasi pantai selatan yaitu Nyi Roro Kidul.Â
Kepercayan tentang adanya Kanjeng Roro Kidul bukan hanya dimiliki oleh masyrakat nelayan saja, tetapi sudah menjadi kepercayan milik masyarakat umum juga. Sedekah Laut di Cilacap merupakan agenda yang dilaksanakan setiap setahun sekali. Tradisi ini juga bukan hanya melibatkan kelompok nelayan saja, melainkan pemerintah kabupaten Cilacap juga ikut serta.Â
Sejarah Sedekah Laut
Tradisi sedekah laut berawal dari peristiwa tumbuhnya kembang Wijayakususma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari kediri yang bertahun-tahun telah menimbulkan kepercayaan bagia raja-raja Surakarta. Kembang Wijayakusuma memiliki tiga warna yaitu  merah, hijau, dan kuning. ketiga warna tersebut memiliki makna.
Warna merah memberikan makna kekuatan membnetuk sel-sel baru di tubuh manusia. Warna hijau memberikan makna kekuatan memelihara sel-sel tubuh manusia dan yang terakhir wana kuning memberikan makna kekuatan untuk mengganti sel-sel tubuh dalam manusia.
Dengan adanya keprcayaan tersebut, setiap penobatan raja baik di Surakarta naupun Yogyakarta selalu mengutus 40 orang utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma.Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia rnenobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya.
Menurut seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilaksanakan di Ajibarang pada tanggal 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat dikejar Trunojoyo.Â
Menurut keterangan, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan tetapi dengan cara gaib melalui samadi. Sebelumnya para utusan raja melakukan upacara "melabuh" (sedekah laut) di tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibalut terlebih dahulu dengan cinde sampai ke atas.
Dengan berpakaian serba putih utusan itu bersamadi di bawahnya, jika memang samadinya terkabul, kembang Wijayakusuma akan mekar dan mengeluarkan bau harum. Kemudian bunga itu jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya kembang tersebut dibawa para utusan ke Kraton untuk dihaturkan ke hadapan Susuhunan Sri Sultan.
Penyerahan itu pun dilakukan dengan upacara tertentu, konon kembang itu dibuat sebagai rujak dan disantap raja yang hendak dinobatkan, dan dengan demikian raja dianggap syah dan dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya. Mitos tentang kembang Wijayakusuma melahirkan upacara budaya sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Sura oleh masyarakat nelayan pantai selatan, dengan melarung rejekinya ke laut pantai selatan.Â