Di era serba canggih dengan berbagai kemajuan di bidang komunikasi saat ini, masih ada yang lebih penting lagi selain Vicky Prasetyo untuk kita telaah dan pahami. Kita dituntut untuk menjadi generasi yang berpandangan luas, tidak hanya berhenti sebatas "setahu saya" saja.
Kalimat "Kebarat-baratan" mungkin sudah rutin kita dengar, tapi ternyata impact nya semakin terasa saat ini. Bukan hanya masalah gaya dan budaya saja yang kebarat-baratan yang diidentikan dengan pakaian terbuka, berpesta dan hura-hura tapi juga arus informasi dan hiburan di sektor media saat ini ternyata telah terkena dampak Amerikanisasi. Jika melihat industri global komunikasi software dan hardware saat ini dimiliki oleh korporasi transnasional yang berpusat di AS.
Hal ini lebih mudah terlihat pada media massa, karena media massa khususnya televisi dianggap lebih mampu mencapai audiens yang lebih besar dibandingkan menggunakan media cetak. Televisi ini menjadi media sentral untuk menyebarkan budaya popular Amerika dengan pesan khasnya yang menebarkan semangat muda (young spirit), bersifaat keterbukaan dan bebas inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak dan generasi muda dan menjadikan Amerika sebagai kiblat sekaligus eksportir terbesar produk media global melalui media popularnya seperti film dan musik. Fenomena oleh Stuart Hall sebagai Global Mass Culture.
Amerika itu cerdas, mereka mencoba menanamkan nilai-nilai yang mereka anut kepada kita bukan lagi menggunakan kekuatan militer tapi dengan produk-produk media nya yang digemari oleh anak muda dan anak-anak. Pengiklan dan produser media berusaha memanfaatkan sinergi antara televisi dengan mainan seperti halnya McDonalds dengan iklan Happy Meals nya dengan kemasan menarik dan berhadiah mainan, musik popular internasional juga menjadi mesin untuk memproduksi hiburan proto-konsumen, seperti MTV. Kesuksesan Amerika ini belum tentu dikarenakan kualitas intrinsik hiburan atau minat melainkan dengan dibantu kekuatan dari konglomerat media besar demi keberhasilan pemasarannya, juga untuk kepentingan branding dan internasionalisasi iklan.
Bagi Indonesia dan Negara-negara non barat lainnya, pesan-pesan konsumeris yang disampaikan melalui telivisi internasional merupakan bukti baru imperialisme budaya. Salah satu alasan mengapa pesan-pesan ini menjadi global sebagian besar karena jangkauan luas media, iklan dan jaringan telekomunikasi yang berbasis di AS, membantu untuk menggunakan kekuatan lunaknya untuk mempromosikan kepentingan nasionalnya. Secara umum, saat ini terjadi satu arus lalu lintas, dimana Amerika menjadi pemimpin dalam eksportir program berorientasi hiburan, meskipun beberapa Negara (terutama Eropa) telah memproduksi program ekspornya sendiri.
Dalam dunia audio visual, Amerika masih terus memimpin. Â Untuk memecah halangan dalam berbahasa, di Eropa film produksi AS diartikan kedalam bahasa lokal mereka. Bahkan sudah tertanamkan bahwa Jika mereka menginginkan program televisi tanpa adanya halangan bahasa atau "lingua franca" yang mampu menyatukan penonton pada saat didepan layar, jawabannya adalah program popular bergaya Amerika (Cultura Franca) seperti Talk Show, Opera Soap dll dengan setting dan bertema lokal. Â Namun dengan adanya Amerikanisasi ini, bukan begitu saja tanpa adanya suatu ketakutan akan dampak yang nantinya dirasakan. Dengan dibuatnya standarisasi dalam dunia perfilman dunia dan layar televisi 'dibawah pengaruh konten yang reduktif dan tidak bermutu, meremehkan segalanya', berisiko hilangnya identitas budaya dan bahasa yang dianggap oleh banyak orang sebagai 'komponen dasar kedaulatan nasional mereka'.
Sadar bahwa televisi, seperti produk budaya lainnya, memiliki kualitas intrinsik yang membedakannya dengan komoditas lain, banyak Negara yang memiliki peraturan untuk membatasi tingkat pemograman televisi dengan konten lokal, meskipun begitu hal ini sering dipermasalahkan oleh perusahaan televisi global. Berbeda dengan Indonesia, sistem regulasi media dibawah naungan Komisi Komunikasi Federal, Senat dan DPR serta Mahkamah Agung dengan maksud adanya sistem Check and Balance. Campur tangan pemerintah yang kecil inilah yang menjadi filosofi dan ciri utama dari sistem media di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri telah mengeluarkan regulasi mengenai penyiaran program asing yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 43, yang meliputi :
(1) Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program siaran asing dengan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Durasi relai siaran untuk acara tetap yang berasal dari luar negeri dibatasi paling banyak 5% (lima per seratus) untuk jasa penyiaran radio dan paling banyak 10% (sepuluh per seratus) untuk jasa penyiaran televisi dari seluruh waktu siaran per hari, kecuali siaran pertandingan olahraga yang mendunia yang memerlukan perpanjangan waktu.
(3) Lembaga penyiaran swasta dilarang melakukan relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar negeri meliputi jenis acara:
a. warta berita;