Pelayanan publik yang baik merupakan salah satu pilar utama dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Namun pada kenyataannya, tidak jarang terjadi kasus dimana pelayanan publik tidak sesuai dengan standar yang diharapkan, bahkan menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Salah satu institusi yang memiliki peran penting dalam pelayanan publik adalah Bea Cukai. Bea Cukai bertugas melakukan pengawasan, pengendalian, dan penerimaan negara atas barang impor dan ekspor serta kepabeanan lainnya. Menurut (Purwati, 2018), pelayanan yang diberikan Bea Cukai seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip integritas, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Buruknya pelayanan Bea Cukai menjadi perhatian yang menarik, karena memberikan gambaran nyata bagaimana ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip etika administrasi publik dapat memberikan dampak buruk bagi masyarakat.
Salah satu alat fiskal yang memiliki peran penting dalam proses penerimaan negara adalah cukai. Cukai berfungsi sebagai alat kontrol untuk membatasi penggunaan produk-produk yang dianggap memiliki efek merugikan. Ada dua dimensi dasar yang menjadi fokus kegiatan utama dalam kerangka kerja bea cukai. Yang pertama adalah mengawasi impor produk dan ekspor barang yang keluar dari wilayah pabean. Adapun yang kedua adalah penekanan pada perolehan bea masuk dan bea keluar-pajak yang dikenakan pada aliran produk (Purwati, 2018).
Sebagai salah satu unit kerja eselon 1 di Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bertanggung jawab untuk mengawasi dan memungut bea masuk dan bea keluar atas pergerakan produk yang diimpor atau diekspor. Oleh karena itu, Bea Cukai memainkan peran strategis yang krusial dalam mengawasi dan mengontrol arus komoditas masuk dan keluar dari negara dan memastikan bahwa hukum yang berkaitan dengan bea cukai ditaati. Terlepas dari kekurangan-kekurangan tertentu, artikel ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan bagi semua orang yang tertarik dengan topik kepabeanan dan cukai.
Menurut (Abarca, 2021), etika administrasi publik adalah seperangkat prinsip dan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 4 dan 5 menekankan kewajiban ASN untuk menjaga standar etika yang tinggi dalam pelayanan publik dan penyelenggaraan negara. ASN dituntut untuk bertanggung jawab, taat, akuntabel, danÂ
memberikan pelayanan yang santun dan beretika, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau tekanan dari luar. Peraturan ini juga menekankan pentingnya mematuhi kode etik dan kode perilaku pegawai termasuk kedisiplinan, kehati-hatian, pelayanan yang sopan dan hormat, serta menjaga kerahasiaan informasi negara. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan kerja yang profesional, transparan, berintegritas tinggi, dan mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan kepentingan umum.
Dalam administrasi publik, norma-norma etika sering kali dilanggar dalam praktiknya. Salah satu bidang di mana layanan tidak sesuai dengan harapan adalah bea cukai, di mana masih ada ruang untuk perbaikan. Kepercayaan publik, reputasi pemerintah, dan efektivitas birokrasi dapat terganggu sebagai akibatnya. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang lebih luas untuk memajukan etika administrasi publik, seperti peningkatan pengawasan, penegakan hukum, dan peningkatan integritas dan profesionalisme pegawai negeri. Berikut ini adalah beberapa kasus mengani kurangnya pelayanan bea cukai di Indonesia:
Kasus yang pertama adalah mengenai wewenang pihak beacukai dalam pelayanan ekspor impor di kantor bea cukai KKBC tipe madya Pabean C Cilacap (Cahyandi, 2020). Permasalahan utama muncul ketika pelanggan gagal memenuhi tanggung jawab terkait kepabeanan dengan segera. Perusahaan sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi tanggung jawab kepabeanan mereka karena beberapa faktor, termasuk kendala keuangan, tidak tersedianya ruang gudang, prosedur perizinan yang rumit, atau tidak digunakannya komoditas dalam proses produksi. Meskipun peraturan yang ada saat ini di sektor kepabeanan sudah cukup baik, masih ada ruang untuk perbaikan karena cara penerapannya yang tidak konsisten.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan peningkatan kemudahan akses dan perbaikan sistem online untuk mengelola kewajiban kepabeanan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses tersebut dapat berjalan dengan lebih efektif dan tanpa gangguan yang berarti. Namun, perlu diingat bahwa sistem online juga rentan terhadap gangguan teknis, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah untuk memperkuat ketahanan sistem terhadap gangguan yang mungkin terjadi.
Pada kasus kedua, perilaku cyberloafing di kantor pelayanan bea dan cukai Kota Pekanbaru dikaji dalam kaitannya dengan stres kerja dan kontrol diri (Adhana & Herwanto, 2021). Perilaku cyberloafing terbagi menjadi dua, yaitu ekstrem dan moderat. Menggunakan internet untuk kegiatan yang lebih berisiko dan berbahaya, seperti bermain game judi online atau mengunjungi situs web pornografi atau ilegal, dikenal sebagai cyberloafing berat. Â
Menggunakan internet untuk hal-hal seperti chatting instan, game online, mengirim dan menerima email pribadi, dan aktivitas serupa lainnya dikenal sebagai cyberloafing ringan. Delapan puluh empat persen pekerja mengirim email yang tidak terkait dengan pekerjaan mereka, dan sembilan puluh persen pekerja menggunakan internet untuk bersantai, menurut penelitian di Amerika Serikat. Temuan survei ini menunjukkan adanya penurunan produktivitas sebesar 30-40% di tempat kerja.
Kasus cyberloafing juga pernah terjadi di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Pekanbaru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pegawai bea dan cukai sering terlibat dalam kegiatan cyberloafing skala kecil, seperti percakapan Whatsapp dan menggunakan situs media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Dalam hal cyberloafing yang serius, kantor kami tidak menerimanya. Dalam sebuah wawancara, seorang anggota staf Konseling Layanan Informasi (PLI) menyatakan bahwa kantor telah melarang akses ke situs web yang melanggar hukum, termasuk perjudian online dan pornografi, sehingga karyawan tidak dapat mengakses situs-situs ini melalui internet. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing seseorang adalah kontrol diri.