Tapi kini papeda dilahap para bengis tanpa perikemanusiaan, yang nekad merenggut nyawa tanpa cacat. Padahal tanah ini dikenal surga kecil yang jatuh ke bumi, pemberi berkat bagi insan pencintai damai. Tanah yang dilimpahi susu dan madu bagi musafir pencinta kebajikan dan cinta agape
Aduh, kini tanah ini jadi surga yang terlantar. Nyawa jadi sasaran pembengis dan kasar sementara kami bukan kaum barbar
Emas di perut bumi sudah habis, mengapa nyawa kami menyusul pergi? Mutiara di lembah yang tenang kini bersinar redup. Tapi cahaya pagi masih tersenyum. Dalam sanubari kami berseru, kapankah damai kami terwujud sepanjang hari?
Karena tulang belulang para pendahulu pun berteriak minta damai: Kami merindukan Papeda!
@kaki bukit, 9 Desember 2014
NB: Dalam ruang bertepi, ditemani rokok dan secangkir kopi, puisi ini kupersembahan buat pencinta damai dan hak asasi manusia, serta orang asli Papua. Semoga di hari esok, kita mengecap nikmatnya damai tanpa akhir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H