[caption id="attachment_381729" align="aligncenter" width="520" caption="Senyum ceria anak-anak Papua (foto: http://www.erepublik.com/)"][/caption]
Namaku Angelus Ethus Kijne. Nama ini diberikan kedua orangtuaku. Angelus artinya malaikat dan Kijne adalah misionaris pertama di tanah airku. Kedua orangtuaku mempunyai harapan bahwa aku akan seperti pendeta Kijne yang berhati suci dan gemar menyebarkan kabar gembira.
Aku dibesarkan di belantara raya. Lembah, ngarai, sungai dan hutan adalah rumahku. Aku sangat menyukai dan mencintainya. Mahaluas. Lepas bebas. Ini menjadikan aku mencintai kedamaian, ketenangan, budaya dan semua ciptaan di bawah kolong langit.
Lembah yang tenang, rimba yang teduh, air bening dan kemilau emas di perut bumi membuatku tenang dan senang. Damainya hatiku.
Kalian penghuni bumi, pernahkah kalian mendengar tentang Papua? Kamu tahu pulau itu dimana? Di sana aku dilahirkan. Bila kamu menyaksikan matahari pagi, itu tanah airku. Kami menyebutnya Bintang Kejora; The Sunrise Land!
Tahun berganti tahun, abad berganti abad, aku dibesarkan dalam ruang dan waktu. Bertualang di rimba yang teduh. Mengarungi derasnya gelombang zaman. Bersosialisasi dalam masyarakat multi etnis.
Perlahan aku mengenal betapa keras dan tak pedulinya dunia padaku. Tak peduli pada hak hidup dan kebebasan. Tak peduli pada seonggok daging yang bersarang pada jiwa dan roh. Nyawa seakan-akan jadi korban pelampiasan ambisi, harta, jabatan dan segala tetek bengeknya.
Timah panas terus bersarang pada nyawa tak bernoda. Belakangan empat nyawa melayang begitu saja. Siapa di balik apa dan siapa melawan siapa, aku hanya bernazar. Rasa penasaranku ingin tahu hanya sebatas kata yang terpendam. Todong senjata berkeliaran tanpa rimba. Kini sayap cenderawasih patah tak berdaya!
Kalau kita menghargai hak asasi manusia, mengapa slogan Homo Homoni Lupus menggema tanpa akhir? Apakah Homo Homoni Socius tak relevan lagi di bumi yang kami huni? Kalau kalian dengar adagium Si Vis Pacem Para Bellum, mungkinkah kami harus berdamai tanpa represi?
Ah..,
Aku merindukan papeda yang lezat, melekat di nurani bening tanpa pekat. Papeda adalah Papua penuh damai, surga tanpa akhir; bukan pemuas nafsu birahi pencinta tirani
Tapi kini papeda dilahap para bengis tanpa perikemanusiaan, yang nekad merenggut nyawa tanpa cacat. Padahal tanah ini dikenal surga kecil yang jatuh ke bumi, pemberi berkat bagi insan pencintai damai. Tanah yang dilimpahi susu dan madu bagi musafir pencinta kebajikan dan cinta agape
Aduh, kini tanah ini jadi surga yang terlantar. Nyawa jadi sasaran pembengis dan kasar sementara kami bukan kaum barbar
Emas di perut bumi sudah habis, mengapa nyawa kami menyusul pergi? Mutiara di lembah yang tenang kini bersinar redup. Tapi cahaya pagi masih tersenyum. Dalam sanubari kami berseru, kapankah damai kami terwujud sepanjang hari?
Karena tulang belulang para pendahulu pun berteriak minta damai: Kami merindukan Papeda!
@kaki bukit, 9 Desember 2014
NB: Dalam ruang bertepi, ditemani rokok dan secangkir kopi, puisi ini kupersembahan buat pencinta damai dan hak asasi manusia, serta orang asli Papua. Semoga di hari esok, kita mengecap nikmatnya damai tanpa akhir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H