Keberadaan etnis Tionghoa di Sukabumi sudah ada sejak lama, kira-kira pada tahun 1800-an. Tepatnya sejak masuk kebudayaan perunggu dari Dongson.
Gelombang kedua masuk saat penyebar agama Islam Tionghoa di masa Sunan Gunung Jati. Gelombang selanjutnya saat pekerja Tionghoa ke Sinagar dibawa Tan Sioei Tiong tahun 1843.
Di tahun 1846, etnis Tionghoa kerap bermukim di daerah Gunung Parang, Cicurung, dan Ciheulang. Pada kala itu etnis Tionghoa dan masyarakat lokal sudah semakin sulit dibedakan.
Kehidupan kedua etnis itu sudah saling membaur dengan amat baik. Apalagi telah terjadi kawin campur dengan orang-orang Sunda.
Konon katanya mereka juga telah menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Nah ternyata gempuran kedatangan etnis Tionghoa rupanya masih berlanjut.
Gelombang terakhir terjadi saat adanya modernisasi kota. Dimana sistem kapiten dibentuk, sehingga muncul sederet 'Kaptoa' (kapiten Tionghoa).
Misalnya Sim Keng Korn, Lauw Tjeng Ki, Tan Giem Hok dan Tan Tiam Leng. Pada tahun 1920 jumlah warga Tionghoa mencapai 2.776 jiwa.
Selain kaptoa, sejumlah etnis Tionghoa lainnya pun cukup tenar dan berjaya di Sukabumi. Sebut saja Gouw Soen Tong sang raja Rollet pembangun Capitol, Tjiong Born Hok pemilik tekstil Tjiboenar dan keluarga Zecha keturunan Grand Lady of Java yang kerap menolong masyarakat yang terkena wabah kolera.
Berkaca dari itu, tak heran bila kini ada sejumlah vihara di Kota Sukabumi. Misalnya Vihara Widhi Sakti yang telah dibangun sejak 1908 dan Vihara Nam Hai Kwan Se Im yang memiliki pemandangan laut indah nan eksotis.
Tak cuma vihara, pesona pecinan semakin melekat disini karena terdapat Museum Tionghoa Soekaboemi. Museum berlokasi di Jalan Pajagalan, Nyomplong, Kecamatan Waru doyong, Sukabumi.