Setahun setelahnya, Souw Beng Kong pun diangkat sebagai dewan dalam College Van Schepenen. Berkat jabatan itu, dirinya pun memiliki kewenangan untuk menangkap orang Tionghoa yang dianggap bermasalah.
Tak cuma itu, dibawah kepimpinannya Kota Batavia pun kian berkembang. Di tahun 1619 hanya sekitar 400, sementara di tahun 1622 melonjak hingga mencapai 1.000 orang.
Kawasan Glodok pun berkembang pesat sebagai area perdagangan.
Jung-jung dari Tiongkok pun berhasil dialihkan dan merapat ke bandar Batavia.
Berkat jasanya dalam membangun Batavia, dirinya dihadiahi dua bidang kebun kelapa serta penjagaan untuk keamanan keluarganya yang dilakukan oleh tentara VOC.
Kembali ke Tiongkok
Kendati telah berhubungan baik dengan Belanda, Souw Beng Kong tidak terlena begitu saja dengan jabatan dan kemudahan yang dimilikinya. Seperti halnya ketika Belanda membuat aturan bahwa warga dilarang bepergian tanpa surat izin dari pemerintahan pasca kemenangannya atas konflik terhadap Sultan Agung, tentara Banten, dan Inggris sekitar tahun 1628-1629.
Ketimbang bertikai, Souw Beng Kong yang tidak menyenangi aturan tersebut malah melepas jabatannya dan memilih untuk kembali ke Tiongkok. Beberapa tahun berselang, ia kembali ke Batavia dan ternyata masih disenangi oleh pihak Belanda sehingga ia kembali masih diberikan jabatan, padahal usianya tergolong tua.
Ketika itu, ia membawahi jabatan sebagai kepala Balai Harta. Gunanya untuk mengurus harta warisan milik hartawan Tionghoa yang tidak memiliki ahli waris.
Dikarenakan usianya yang semakin senja, Souw Beng Kong pun tak lama mengemban jabatan tersebut. Lalu digantikan oleh temannya Lim Lak dan Souw Beng Kong pun meninggal pada 8 April 1644 di Tijgersgracht yang berarti Terusan Macan dan kini berganti menjadi Jalan Pos Kota.
Makamnya tak lagi terurus
Ia pun dimakamkan di sekitar kawasan Jalan Pangeran Jayakarta, Sawah Besar, Jakarta Barat. Tepatnya terletak di dalam sebuah gang yang bernama sama dengan dirinya, namun kini telah berganti menjadi Jalan Taruna.