Ada sederet sosok tokoh Tionghoa berpartisipasi dalam memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Beberapa nama diantaranya adalah John Lie, Soe Hoek Gie, Yap Tjwan Bing, Djiaw Kie Siong, dan Liem Koen Hian.
Selain mereka, ada salah satu tokoh Tionghoa lagi yang turut berjuang demi merah putih. Dia adalah Sho Bun Seng.
Menariknya Bun Seng juga berprofesi sebagai mata-mata. Terutama di sejumlah organisasi yang berkaitan dengan masyarakat Tionghoa pro Belanda.
Bukan tanpa alasan, pria kelahiran Kutaraja pada 1911 ini, diposisikan sebagai penyusup. Hal ini berawal dari ketergantungannya sebagai gerilyawan TNI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ismail Lengah.
Rupanya sang pimpinan, mengamati bakat sandi telik yang dimiliki Bun Seng. Berkat itulah ia ditugaskan untuk bergabung dengan Kesatuan Singa Pasar Oesang pimpinan Mayor Kemal Mustafa.
Dari situlah penugasan sebagai mata-mata datang kepadanya. Salah satu penugasannya adalah menyusup ke dalam sebuah milisi Tionghoa pro Belanda yang bernama Poi An Tui (PAT).
Langkahnya sebagai mata-mata sangatlah tenang dan tidak tergesa-gesa. Yakni dengan mendirikan organisasi pemuda Tionghoa bernama Pemoeda Baroe.
Cara itu dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat Tionghoa di Padang. Perlahan namun pasti, ia pun dikenal dan berhasil menjabat sebagai nahkoda PAT di Padang.
Selama menjabat dirinya tidaklah akrab dengan Belanda, melainkan dengan para pejuang tanah air. Namun di awal tahun 1947, PAT dibubarkan.
Alasannya karena dikhawatirkan dipakai untuk kepentingan pihak sekutu. Selepas itu, ia kembali menyusup melalui organisasi sipil masyarakat Tionghoa bernama Cu Hua Cung Hui.
Bun Seng pun diberi jabatan sebagai koordinator keamanan. Berkat jabatan tersebut, ia pun bisa berjumpa dengan para pejuang tanah air dengan lebih mudah.
Tentunya dengan berbekal alibi mengurusi masyarakat Tionghoa di Padang. Sikap anti-Belanda itu telah terpatri dalam dirinya semenjak berusia remaja.
Alasannya karena, ia menyaksikan langsung kekejaman yang dilakukan para polisi Hindia Belanda saat menumpas kaum komunis di Silungkang pada 1926. Selain menjadi mata-mata, Bun Seng pun aktif menyelundupkan senjata untuk para pejuang.
Bahkan dirinya pun pernah ditugaskan oleh Letnan Kolonel Abdul Hakim untuk menukar emas hitam atau opium dengan senjata. Terlebih kawasan Bukittinggi di Sumatera Barat kala itu, memiliki candu yang cukup berlimpah.
Dengan bantuan dari kesatuan TNI dari Kompi Bakapak, Bun Seng pun berhasil menjual puluhan kilogram candu dan menukarnya dengan senjata di pasar gelap. Selain senjata, uang hasil penjualan pun turut dibelikan barang-barang logistik untuk para pejuang.
Kedua profesi itu terus dilakoninya hingga Indonesia meraih kedaulatannya dari Belanda. Tepatnya pada 27 Desember 1949.
Selain di Padang, ia pun ternyata pernah pula dikirim untuk menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berkobar di Jawa Barat. Alih-alih pulang ke kampung halaman, selepas itu Bun Seng malah hijrah ke Muara Angke, Jakarta Utara.
Disana dia membangun sebuah keluarga dan membuka toko kecil. Selama tinggal di Jakarta hidup Bun Seng sangatlah sederhana dan itu terus berlanjut hingga ia menutup usia pada tahun 2000.
Oleh: Sony Kusumo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H