Tentunya dengan berbekal alibi mengurusi masyarakat Tionghoa di Padang. Sikap anti-Belanda itu telah terpatri dalam dirinya semenjak berusia remaja.
Alasannya karena, ia menyaksikan langsung kekejaman yang dilakukan para polisi Hindia Belanda saat menumpas kaum komunis di Silungkang pada 1926. Selain menjadi mata-mata, Bun Seng pun aktif menyelundupkan senjata untuk para pejuang.
Bahkan dirinya pun pernah ditugaskan oleh Letnan Kolonel Abdul Hakim untuk menukar emas hitam atau opium dengan senjata. Terlebih kawasan Bukittinggi di Sumatera Barat kala itu, memiliki candu yang cukup berlimpah.
Dengan bantuan dari kesatuan TNI dari Kompi Bakapak, Bun Seng pun berhasil menjual puluhan kilogram candu dan menukarnya dengan senjata di pasar gelap. Selain senjata, uang hasil penjualan pun turut dibelikan barang-barang logistik untuk para pejuang.
Kedua profesi itu terus dilakoninya hingga Indonesia meraih kedaulatannya dari Belanda. Tepatnya pada 27 Desember 1949.
Selain di Padang, ia pun ternyata pernah pula dikirim untuk menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berkobar di Jawa Barat. Alih-alih pulang ke kampung halaman, selepas itu Bun Seng malah hijrah ke Muara Angke, Jakarta Utara.
Disana dia membangun sebuah keluarga dan membuka toko kecil. Selama tinggal di Jakarta hidup Bun Seng sangatlah sederhana dan itu terus berlanjut hingga ia menutup usia pada tahun 2000.
Oleh: Sony Kusumo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H