Perhitungan sistem penggajian ada bermacam-macam. Ada yang bulanan, mingguan, harian, ataupun  berdasarkan jumlah jam kerja, dan produktivitas.
Pengalaman saya Sejak masa kecil melihat sistem penggajian yang paling jarang menimbukan permasalahan adalah berdasarkan produktivitas.
Misalnya di perusahaan garmen.
Pada bagian pemotongan (cutting), sistem penggajian dihitung berdasarkan berapa banyak yang mereka potong. Semakin banyak yang dipotong, maka pendapatan (income) akan bertambah banyak.
Begitu pula bagian jahit, obras, Â lubang kancing, dan pasang kancing. Semua dihitung berdasarkan berapa banyak yang mereka kerjakan.
Akibatnya mobilitasnya menjadi sangat bagus. Pekerja yang lambat atau malas-malasan bekerjanya akan menghasilkan pendapatan yang lebih sedikit.
Sedangkan mereka yang cepat dan mau bekerja lama/keras  menghasilkan pendapatan lebih banyak. Dengan cara yang adil ini,  baik Pekerja maupun Perusahaan akan saling menguntungkan.
Biasanya menjelang bulan puasa atau hari raya, perusahaan garmen akan mengalami kenaikan permintaan. Otomatis para pekerja akan mendapatkan pekerjaan yang lebih banyak dan mereka akan bekerja lebih panjang sehingga pada saat-saat  menjelang Idul Fitri, Imlek, maupun tahun baru, income mereka bisa mencapai 3-4 kali lebih besar dari bulan-bulan biasanya.
Mereka bekerja cepat dan lebih panjang dengan senang hati.
Perusahaan juga senang, karena tidak ada pekerja yang komplain, tidak ada pembagian THR. Pengusaha maupun Pekerja sama sama senang.
Meski begitu, terkadang perusahaan  membagikan bonus kepada karyawan. Bonus tersebut dihitung berdasarkan produktivitas mereka. Jika income mereka tambah besar, tentu bonusnya akan lebih besar dan begitu juga sebaliknya. Dengan ketentuan ini, tidak ada yang menuntut.
Saat bekerja biasanya mereka membawa anak buah sendiri untuk melipat dan memotong benang. Bila anak buah sudah pandai menjahit, maka mereka akan menjadi penjahit dan membawa anak buah lagi.
Begitu pula yang gesit, cepat dan rajin akan membentuk grup sendiri (Subcon). Yakni dengan mencicil atau membeli mesin. Lalu mereka menerima order jahitan dari pabrik atau perusahaan dan membagikan pekerjaan ke anak buahnya.
Praktik seperti ini bisa banyak dilihat dari banyaknya konveksi rumahan di Jakarta, Tasikmalaya, Bandung, Surabaya dan banyak kota lainnya.
Mengapa serikat pekerja pada penjahit atau pemotong kain tidak pernah ada dan pekerja tidak pernah menuntut? Penyebabnya karena mereka semua bekerja berdasarkan produktivitas.
Jika Depnaker menerapkan ide simpel ini terhadap semua jenis pekerjaan atau industri, otomatis sengketa buruh akan hampir tidak ada. Dan mafia serikat pekerja akan hilang dengan sendirinya.
Produktivitas dan skill pekerja Indonesia akan naik dan average income pekerja otomatis naik. Ujung-ujungnya kesejahteraan pekerja naik dan perusahaan atau para pengusaha juga senang karena tidak ada gangguan dan semua menjadi pasti perhitungan profit & lostnya.
Human Nature
Manusia diciptakan untuk berpikir dan bekerja. Bila berhenti malah akan cepat pikun dan banyak penyakit.
Tanpa adanya insentif dan persaingan, manusia cenderung santai Dan malas.
Anak yang menggangap orang tuanya kaya, Dan selalu mengharapkan harta Dari orangtuanya akan rusak mentalnya karena  menjadi pemalas dan tidak memiliki semangat juang untuk maju.
Begitu juga rakyat yang menganggap negaranya kaya dan selalu mengharapkan bantuan dari pemerintah. Maka mentalnya akan rusak dan kalah bersaing dari bangsa lain.
Bangsa yang memiliki moto dengan tanpa adanya usaha dan kerja keras mereka tidak akan bertahan. Bangsa yang memiliki moto seperti ini pasti maju Dan negaranya lebih sejahtera.
Oleh SK7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H