Sejak sepuluh tahun silam, batik telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. UNESCO menyebutkan batik sebagai Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity.
Tanggal 2 Oktober pun telah dinobatkan sebagai perayaan hari batik nasional. Kendati kental aroma nusantara, siapa sangka salah satu jenis batik Indonesia berkaitan erat dengan pendatang asal Tiongkok zaman dulu dan peranakan Tionghoa.
Ya itu adalah batik lasem. Pamor batik lasem dulu memang kalah kuat ketimbang batik lain dari Solo, Yogya, Cirebon, ataupun Pekalongan.
Gaung batik lasem baru mulai terdengar beberapa tahun belakangan. Tentunya terjadi karena geliat para pecinta batik ditambah penetapan warisan budaya oleh UNESCO tadi.
Kota Lasem sendiri adalah kota kecil di timur Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kira-kira butuh waktu 4 jam perjalanan jika menempuhnya dari Semarang.
Batik lasem bermula dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Indonesia pada 1413. Cheng Ho memang kembali ke negaranya, namun dalam catatan di Babad Lasem (1479 M), salah seorang anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari kerajaan Tiong Hwa, Bi Nang Un menetap di Lasem bersama istrinya, Na Li Ni.
Dari situlah keduanya mulai melukis di kain dan menciptakan batik lasem. Di tiap lembar kain tertuang gambaran bermotif kultur Jawa dan etnis Tiongkok.
Ragam motifnya seperti burung hong atau pheonix, ayam hutan, naga, sekar jagad, grinsing, watu pecah, dan kendoro kendiri. Batik lasem kian menarik dikarenakan warna merahnya yang khas, yakni serupa darah ayam.
Selain merah, warna biru tua, hijau botol, dan kuning khas batik pesisir menjadi ciri batik lasem. Ciri lainnya adalah ukuran motifnya yang tampak besar-besar dan agak acak.
Di samping itu, batik lasem juga dikenal dengan sebutan Batik Tiga Negeri. Alasannya karena tahap pewarnaannya memakan tiga kali proses.
Masa kejayaan batik lasem terjadi di abad ke-19. Tepatnya ketika hampir seluruh keturunan Tionghoa yang tinggal di Lasem menjadi pengusaha batik.