Revolusi industri merupakan sebuah perubahan cara hidup manusia dan proses kerja secara fundamental. Kemajuan teknologi informasi mampu mengintegrasi berbagai aktivitas manusia melalui digitalisasi yang dapat memberikan dampak terhadap disiplin ilmu.Â
Kalau di dunia pendidikan kita juga sudah belajar mengenai revolusi industri, peluang, dan tantangannya di masa depan. Misalnya, kita diberi tahu bahwa revolusi industri 1.0 yaitu masih ditekankan pada tenaga otot ke uap. Â
Revolusi industri 2.0 di awal abad ke 20 yang menekankan pada otot-uap ke listrik. Revolusi Industri 3.0 dipicu oleh mesin bergerak, yang berpikir secara otomatis, komputer dan robot.Â
Revolusi Industri 4.0 menekankan pada digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, dengan fenomena distruptive innovation. Konsep industri 4.0 , pertama kali digunakan di publik dalam pameran industri Hannover Messe di Kota Hannover, Jerman pada tahun 2011. Kemudian, secara cepat munculnya revolusi Industri 5.0 atau revolusi society 5.0.
Berbagai seminar online yang saya ikuti, mereka sering membahas revolusi industri 4.0 sehingga revolusi industri tidak hanya diketahui oleh dunia pendidikan, tetapi juga sudah menyebar ke masyarakat umum, khususnya di perusahaan besar hingga usaha-usaha kecil.Â
Di dalam revolusi industri 4.0, kita didorong supaya memiliki skill yang dibutuhkan seperti  Complex problem solving,Critical thinking, Creativity, People Management, Coordinating with other, Emotional Intelligence, Judgment dan decision making, Service orentation, Negotiation, dan Cognitive flexibility. Saya merasa bahwa bukanlah cara yang mudah untuk memiliki skill yang begitu sulit dan harus memerlukan waktu yang lama untuk mempersiapkannya.
Ditambah lagi dengan literasi 4.0 ini tidak cukup hanya literasi lama (membaca, menulis, dan matematika) tetapi kita juga harus dibekali dengan literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Literasi data artinya kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan info informasi (Big Data) di dunia digital.Â
Literasi teknologi artinya memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (Coding, Artificial Intelligence, dan Engineering Principles). Dan literasi manusia artinya humanities, Komunikasi, dan Desain.Â
Melihat kebutuhan yang demikian apakah kita benar-benar mampu menghadapi era 4.0 hingga 5.0? ataukah kita akan kalah dan hilang dalam persaingan di era ini?.Â
Menurut Penelitian MCKindsey Global Institute di era 4.0 sekitar 30% tugas dari dua pertiga jenis pekerjaan akan dapat digantikan oleh teknologi seperti robot atau kecerdasan buatan (Artificial intellegance) MCKindsey memprediksi bahwa otomatisasi tersebut akan mengakibatkan hilangnya 3-14% profesi pada 2030. Sekitar 75 hingga 375 juta tenaga kerja di dunia harus berganti bidang mata pencaharian.Â
Lapangan kerja baru muncul di bidang yang berhubungan dengan perancangan dan pengoperasian teknologi itu sendiri seperti Computer programming dan user interface designer.
Di aspek lain peluang bisnis era 4.0 mampu menciptakan 3,7 juta pekerjaan baru seperti di bidang Fintech (Finance Technology), cloud hosting, google drive dan dropbox sangat berdekatan dengan dunia industri dan proses bisnis, bisnis jual beli online, on-demand service seperti aplikasi transportasi online.Â
Sementara kita sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi era 4.0 ini, Jepang memberikan kejutan untuk dunia dengan secara resmi meluncurkan  Society 5.0 dengan dijadikan manusia sebagai subjek utama (Human centered society) dalam mengendalikan kemajuan ilmu dan teknologi road map yang lebih humanis dengan istilah super-smart society atau society 5.0
Konsep masyarakat 5.0 society 5.0Â menjadikan manusia sebagai pusat pengendali teknologi. Jepang mengalami masa-masa sulit selama kurang lebih satu dekade terakhir.Â
Populasi masyarakat usia produktif menurun drastis dan jumlah penduduk lansia meningkat. Hal ini turut berpengaruh oleh krisis buruh yang sulit diatasi, jumlah penduduk produktif di Jepang yaitu 77 juta (2019) dan akan berkurang sebesar 70% menjadi 53 juta pada tahun 2050. Sedangkan usia 65 tahun ke atas akan mengalami kenaikan sebesar 38,4% di tahu 2065.
Walaupun masih banyak perdebatan soal revolusi industri 5.0 dan banyak masyarakat yang belum mengetahuinya misalnya pada saat saya menghadiri seminar online ternyata banyak mahasiswa yang belum mengetahui era society 5.0. Mereka menyampaikan bahwa "kami masih bersiap di era 4.0, muncul lagi yang namanya society 5.0".Â
Para ahli telah menyampaikan bahwa dalam masyarakat 5.0 teknologi dan inovasi perlu dimanfaatkan untuk membantu dan memajukan masyarakat bukan untuk menggantikan peran manusia.Â
Sementara itu, Charles A Beard mengemukakan bahwa revolusi industri sebenarnya fokus pada material (membuat sesuatu) dan pada manusia (sosial). Jepang memproklamirkan society 5.0 karena mereka begitu kritis pada revolusi 4.0 dan kondisi negara yang terancam di masa depan. Oleh karena itu, kita sangat memerlukan cara berpikir yang tepat untuk mampu menghadapi era 5.0 dan perubahan di masa depan.
Lalu, cara berpikir seperti apa yang dibutuhkan di era society 5.0 ini? Cara berpikir yang harus selalu dikenalkan dan dibiasakan adalah cara berpikir untuk beradaptasi di masa depan, yaitu  analitis, kritis, dan kreatif. Cara berpikir itulah yang disebut cara berpikir tingkat tinggi (HOTS: Higher Order Thinking Skills). Berpikir ala HOTS bukanlah berpikir biasa-biasa saja, tapi berpikir secara kompleks, berjenjang, dan sistematis.
Pertama, cara berpikir analitis merupakan cara berpikir yang bersifat logis dan sistematis dengan menggunakan informasi yang relevan berdasarkan data dan fakta. Cara berpikir analitis memiliki kemampuan untuk menganalisis ide dan memecahkan masalah yang kompleks, serta memampukan kita untuk menemukan solusi atas masalah yang ada.
Kedua, Â cara berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, menarik kesimpulan, membuat evaluasi, dan memecahkan masalah. Artinya berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menilai informasi yang diterima kemudian diolah dan menarik kesimpulan dari apa yang sudah diketahuinya.
Ketiga, cara berpikir kreatif merupakan kemampuan dalam menciptakan hal baru. Kreatif dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk membuat sesuatu yang baru, baik berupa ide, gagasan, dan pendapat yang berbeda dengan sebelumnya.
Kemampuan HOTS dapat dilatih dan dimulai dalam proses pembelajaran di kelas dengan memberikan ruang kepada siswa untuk menemukan konsep pengetahuan berbasis aktivitas. Ini dapat mendorong siswa untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis.Â
Para pengajar boleh memilih aneka model pembelajaran, seperti discovery learning, project based learning, problem based learning, dan inquiry learning. Kesemua model itu mengajari dan mengembangkan nalar kritis siswa. Pembiasaan HOTS juga diperoleh dengan siswa selalu dikenalkan dan merasakan langsung situasi dunia nyata.Â
Dengan mengenali dunia nyata, siswa akan mengenal kompleksitas permasalahan yang ada. Seperti masalah lingkungan hidup, kesehatan, bumi dan ruang angkasa, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Para siswa diharapkan dapat menerapkan konsep-konsep pembelajaran untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H