Dalam sejarahnya, mas kawin telah ada sejak 3000 SM. Peradaban Kuno Mesir, Mesopotamia, dan Inca semuanya menggunakan mas kawin (Quale, 1988). Suku-suku Jermanik, yang berasal dari tahun 2000 SM dan memerintah Eropa Barat dari tahun 600 hingga 1000 M, mewajibkan mahar agar pernikahan menjadi sah (Hughes, 1985).
Transaksi semacam ini juga terjadi di Suku Badui di Timur Tengah, dan negara-negara yang sebelumnya berada di bawah Kekaisaran Ottoman seperti Irak, Suriah, Mesir, Turki, Iran, dan Albania (Rapopart, 2000; Quale, 1988).Cina klasik membutuhkan negosiasi mas kawin untuk menjadikan pernikahan itu sah, dan pembayaran uang pernikahan yang demikian terus menjadi norma di banyak daerah saat ini (Ebrey, 1993).
Tampaknya Cina menjadi salah satu contoh bahwa mas kawin menjadi wajib, namun bersifat sukarela karena ada pengembalian mas kawin (Engel, 1984). Taiwan juga tampaknya mengikuti praktik tradisional Tionghoa dalam pertukaran pembayaran pernikahan di kedua arah (perih dan Willis, 1993).
Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat di berbagai tempat telah menerapkan pembayaran pada saat pernikahan. Pembayaran tersebut biasanya berjalan seiring dengan pernikahan yang diatur oleh orang tua dari pasangan masing-masing.
Pembayaran pernikahan ini muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran, namun dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar yaitu pembayaran uang pernikahan dari keluarga besar pengantin wanita ke keluarga pengantin pria, yang sering disebut “Mas Kawin”, atau pembayaran uang pernikahan yang dilakukan oleh pihak pria kepada pihak pengantin wanita yang dikenal dengan sebutan “harga pengantin”.
Pembayaran pernikahan tersebut dapat dilihat di beberapa daerah di Indonesia. Misalnya di Minangkabau, pihak keluarga wanita membayar uang pernikahan ke pihak keluarga pria. Sedangkan di Makassar, pihak keluarga pria membayar uang pernikahan ke pihak keluarga wanita.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan jumlah harta yang ditransfer dari pengantin pria ke pihak keluarga wanita seperti di Spanyol, pihak pria mentransfer satu per sepuluh (1/10) dari kesejahteraan pria harus ditransfer ke pihak wanita (Quale, 1988). Di Italia, satu per empat (1/4) dari kesejahteraan pria harus ditransfer ke pihak wanita (Quale, 1988).
Di Prancis, satu per tiga (1/3) dari kesejahteraan pria ditransfer ke pihak wanita. Di Uganda, 40 persen dari penerimaan keluarga pria harus ditransfer ke pihak pengantin wanita (Bishal dan Grossbard,2006). Kebanyakan orang menganggap bahwa pernikahan memiliki Cost (Biaya), sehingga uang pernikahan dijadikan sebagai syarat pernikahan. Oleh karena itu, seringkali terjadi masalah pasangan yang gagal nikah.
Misalnya, Tradisi Uang Panaik Makassar. Kata Panaik didefinisikan sebagai sebuah aturan untuk memberikan harta benda dari pihak pria ke pihak keluarga wanita untuk melangsungkan pernikahan. Ukuran besaran harta benda ini tergantung kedudukan dan pendidikan calon pengantin wanita. Jadi, semakin tinggi pendidikan atau keturunan (ningrat) wanita, maka semakin tinggi pula uang Panaik yang ditransfer oleh pihak pria.
Dilihat dari sudut pandang Individualisme versus kolektivisme, bahwa uang panaik dianggap oleh keluarga sebagai hak individu yang bertentangan dengan masyarakat kolektivisme yang mengakibatkan gagal nikah, kawin lari, dan menjual hartanya untuk menikah. Sehingga, Individualisme cenderung lebih menonjol dibandingkan dengan kolektivisme.
Uang panaik atau panai diberikan oleh calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin wanita sebelum pernikahan. Pada saat itulah, dilakukan tawar menawar tentang jumlah uang panaik yang diberikan dan ukurannya sesuai dengan yang diminta. Khusus untuk panaik memang hanya ada di adat pernikahan suku Bugis – Makassar.
Makin tinggi pendidikan seorang wanita, makin mahal uang panaik yang diberikan. Lulusan S1, berbeda nominalnya dengan uang panaik wanita yang telah lulus S2. Akibatnya, para pria Makassar buru-buru melamar wanita sebelum lulus kuliah. Berbeda pula dengan wanita dengan gelar bangsawan, uang panaik akan ditransfer dalam jumlah yang besar. Karena, bagi wanita yang bergelar bangsawan atau yang lahir dari keturunan raja dianggap memiliki kualitas yang tinggi.
Hal menarik yaitu sebelum memutuskan jumlah uang panaik, biasanya terdapat tawar menawar dengan keluarga wanita. Kalau pihak pria memiliki kedekatan dengan keluarga wanita maka negosiasi ini dapat dilakukan. Uang panaik menjadi simbol yang memacu para pria Makassar untuk semangat mencari rezeki untuk mendapatkan gadis pujaan. Menurut tradisi Makassar, Cinta adalah hal yang mahal dan tidak bisa sembarang orang dapatkan. Wanita dianggap layak mahal, sehingga pria harus berusaha untuk mendapatkannya.
Selanjutnya, dimana akuntansinya? Akuntansi harus dipahami sebagai bentuk dari budaya, dimana akuntansi itu tumbuh. Jadi, akuntansi tidak hanya dilihat pada laporan keuangan di perusahaan yang disajikan dalam bentuk angka atau secara kuantitatif. Akuntansi harus dipahami sebagai bentukan dari budaya tempat akuntansi itu tumbuh (Rahayu dan Yudi, 2015). Untuk menjelaskan kedudukan akuntansi, yang pertama yaitu kita perlu mengetahui tentang Price (harga) versus Biaya pernikahan (Cost of Married).
Apakah hal ini merupakan harga pernikahan atau biaya pernikahan? Kalau biaya pernikahan bagaimana mencatatnya? Kalau itu harga pernikahan, bagaimana mengakuinya?. Karena itu, perlu adanya kesiapan membayar biaya pernikahan yang tinggi ketika di kemudian hari mereka memiliki anak pria. Kemudian, Prince Setter atau pihak yang menawar bisa berasal dari pengantin wanita, atau orang tua wanita, tetapi umumnya yang terjadi adalah keluarga secara keseluruhan. Selain itu, ada Prince taker atau pihak yang menerima. Pihak yang menerima beranggapan bahwa tidak harus menawar karena hal ini juga adalah suatu kebanggaan keluarga.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dimensi budaya dalam nilai-nilai sosial dalam kaitannya dengan nilai dan praktik akuntansi dimulai dengan proposisi Hofstede yang menyatakan bahwa nilai-nilai kemasyarakatan memiliki konsekuensi kelembagaan berupa sistem ekonomi yang meliputi pola kepemilikan perusahaan dan pasar modal.
Model diperluas dari nilai-nilai sosial ke nilai-nilai akuntansi menunjukkan bahwa, pada gilirannya, mereka mempengaruhi struktur dan akuntansi, termasuk pengukuran, pengakuan, dan pengungkapan dalam pelaporan keuangan. Kemudian, dapat membangun empat nilai akuntansi terukur yang dapat digunakan untuk membenarkan budaya akuntansi, yaitu: pertama kuantitativisme versus kualitativisme yaitu sebagian orang mengukur cinta, mengukur pernikahan itu dengan materialitas dan sebagian orang mengukur cinta dan pernikahan dengan kualitas.
Kedua, Keseragaman versus fleksibilitas yaitu orang beranggapan bahwa uang pernikahan itu kalau orang lain naik, maka akan menaikkan uang Panaiknya. Namun, ada orang yang beranggapan secara fleksibel bahwa uang itu bisa dibicarakan, bisa fleksibel, apa acara yang akan dilaksanakan, dimana acaranya, berapa baiayanya, tidak usah bicara soal kedudukan dan darimana asalnya, tidak mempersoalkan gelarnya, dan sebagainya.
Konservatisme dan Optimisme yaitu orang menekankan optimis dan memberikan harapan di masa depan. Kemudian, kerahasiaan dan transparansi yaitu orang yang memilih merahasiakan uang pernikahannya dan orang yang transparan yaitu orang memberitahukan jumlah atau besaran uang pernikahannya. Oleh karena itu, keempat hal tersebut dapat digunakan untuk memperluas nilai-nilai sosial dan nilai-nilai akuntansi.
Referensi
Avais, Muhammad Abdullah and Wassan, Aijaz and Brohi, Ahmed and Chandio, Rafique, An Analysis of Perception Regarding Bride Price in Jacobabad City, Sindh (February 26, 2015). Educational Research International Vol. 4(1) February 2015, Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2570730
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H