"Aku belum pernah menikah."
Martohap  terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu  tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu yang membuat dia  mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua puluh tahun  membuatnya takut untuk pulang.
Walau membisu, Martohap tetap  mengamati wajah yang dulu sangat dikaguminya. Dulu? Tidak! Tidak! Bantah  hatinya seketika. Sekarang pun dia masih tetap mengaguminya. Dia memang  sangat mengagumi perempuan yang tulus dan tegar. Apalagi bila perempuan  itu telah membuktikan dirinya tulus menikmati kesendiriannya. Tegar  mengikuti perjalanan hidupnya.
"Aku pun belum pernah menikah."
Pita  terbelalak. Untuk apa dia mengatakan itu? Tentu dia tidak sedang  merayu, katanya dalam hati. Lalu dia tersenyum kecil. Dia tahu, Martohap  memang tidak bisa merayu. Lelaki itu lebih suka berpikir dan bertindak.
"Apakah  seseorang yang telah menjalani kesendirian selama puluhan tahun berani  menjalani kebersamaan di bagian akhir masa hidupnya? Bila mengenang  cerita cinta sudah terasa indah, mengapa perlu mempertaruhkan  kebersamaan? Bila kebersamaan itu akhirnya ternyata menyakitkan,  bukankah nikmatnya kesendirian akan menjadi sia-sia? Padahal kesendirian  itu telah dinikmati hingga usia menjelang senja. Tak lama lagi kematian  akan datang untuk memisahkan kebersamaan. Mungkin naif bila  kusimpulkan, semakin tua menjalani kesendirian, semakin takut menghadapi  kebersamaan."
"Untuk apa kau katakan itu?"
"Karena aku ingin pulang."
"Pulanglah!"  kata Pita ketus. Hatinya meradang. Dengan sigap dia bangkit dari  kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu sebelum air matanya sempat menetes.
Martohap  terkesima. Matanya nanar menatap atap kedai tuak yang tak  berlangit-langit itu. Lalu dia merogoh saku bajunya dan meletakkan sebuah amplop di atas meja. Langkahnya gontai ketika meninggalkan kedai  tuak yang telah sepi itu.
Seperti biasanya, dua jam sebelum  tengah malam, Pita selalu sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang  tertumpah di atas meja. Dia masih tetap sendirian membersihkan dan  merapikan kursi-kursi kedai tuaknya. Setelah menutup kedai tuaknya,  sesekali dia membuka amplop yang ditinggalkan Martohap. Lalu dibacanya  surat pendek itu untuk kesekian kalinya, "Pita, hingga sekarang aku  tetap mencintaimu! Aku berbahagia karena tak ada orang yang berhak  melarangku untuk berhenti mengenangmu!"