"Apakah kau pernah mencintai seorang perempuan?"
Lelaki  itu terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Lalu dia berkata, "Maaf karena  aku sangat lancang bertanya. Mengapa kau namai Martohap? Bukankah nama  Songgop lebih berarti untukmu?"
Sekujur tubuh Pita mulai menggigil.
"Apakah kau pulang untuk perempuan yang kau cintai itu?"
"Aku tidak pulang. Aku datang!" jawab lelaki itu. Matanya menatap tajam.
"Aku  yakin bahwa kau mengenal perempuan yang kumaksud. Kira-kira dua puluh  lima tahun yang lalu, perempuan itu diperistri oleh anak Kepala Kampung  ini," sambungnya.
Pita membisu kembali. Napasnya tersendat.
"Namaku Martohap."
Pita bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu.
Di  dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak mampu  menahan air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang dia  tangisi. Apakah dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau  menangis karena menyesal telah memberikan hatinya kepada lelaki itu.  Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk dia berikan  kepada lelaki lain.
Tahun demi tahun telah dilaluinya dalam  kesendirian. Dinikmatinya kesendirian itu sambil menunggu lelaki itu  pulang untuk mengembalikan hatinya. Nama lelaki itu digunakannya menjadi  nama kedai tuaknya. Setiap orang yang melewati kedai tuaknya dapat  membaca nama itu dengan jelas. Dia memang ingin menyapa dan mengundang  lelaki yang memiliki nama yang sama untuk singgah di kedai tuaknya.