Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam orasi kebudayaannya menyampaikan apresiasi tinggi kepada Hilmar Farid, B.A., M.A., Ph.D., yang telah menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan periode 2015-2024. Sri Sultan menyebutkan bahwa Hilmar Farid telah berperan penting sebagai suporter, mentor, dan motivator, terutama dalam upaya penetapan "The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks" sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO.
Apresiasi ini disampaikan dalam pidato kebudayaan yang mengiringi purnatugas Hilmar Farid. Acara tersebut dilaksanakan di Kompleks Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada hari Selasa, 28 Januari 2025. Sri Sultan menekankan kontribusi besar Hilmar Farid dalam memajukan kebudayaan Indonesia, khususnya dalam upaya pelestarian dan pengakuan internasional terhadap warisan budaya Yogyakarta.
"The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks" merupakan poros kosmologis yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Pantai Selatan, yang mencerminkan filosofi dan nilai-nilai budaya Jawa. Penetapannya sebagai Warisan Dunia merupakan pencapaian penting dalam upaya melestarikan dan mempromosikan kekayaan budaya Indonesia di tingkat global.
Utopia Membangkitkan Kejayaan Peradaban Arkipelagis
Utopia, sebagai sebuah konsep, telah lama menjadi bahan pemikiran para filsuf, sastrawan, dan pemikir sosial. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Sir Thomas More dalam bukunya "Utopia" (1516), yang menggambarkan sebuah masyarakat ideal yang terisolasi dari dunia luar. More menggunakan konsep ini untuk mengkritik kondisi sosial-politik pada masanya, sekaligus menawarkan visi alternatif tentang tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam konteks Nusantara, utopia dapat dilihat sebagai upaya untuk membangkitkan kembali kejayaan peradaban arkipelagis yang pernah jaya sebelum kolonialisme dan feodalisme menggerus kebebasan dan kemajuan masyarakat.
Selain Thomas More, konsep utopia juga dikembangkan oleh pemikir-pemikir lain seperti Plato dalam "Republic" (380 SM), yang menggambarkan negara ideal yang dipimpin oleh filsuf-king. Â Di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, melalui karya-karyanya, termasuk "Arus Balik" (1995), mengungkapkan kritik terhadap sistem kolonialisme dan feodalisme yang membelenggu kemajuan peradaban Nusantara.
Dalam bukunya "Arus Balik", Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan adanya kesamaan antara kolonialisme dan feodalisme, dua sistem yang selama berabad-abad membelenggu kebebasan dan kemajuan peradaban Nusantara. Toer menulis: Â
"Kolonialisme dan feodalisme adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya menghisap kekuatan rakyat, menghancurkan kebudayaan asli, dan menggantikannya dengan sistem yang menindas."
Melalui kutipan ini, Toer menegaskan bahwa kolonialisme dan feodalisme tidak hanya merampas kekayaan material, tetapi juga menghancurkan kebudayaan dan identitas masyarakat Nusantara.Â
Membangkitkan Kejayaan Peradaban Arkipelagis