Tulisan ini terinspirasi oleh salah satu ulasan Kompas TV dengan tajuk "BI Rate Turun, Rupiah Dikorbankan Demi Ekonomi dari Kompas TV". Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75% di tengah tantangan global dan domestik yang semakin kompleks telah mengejutkan banyak pihak, terutama investor dan pengusaha.Â
Langkah ini diambil dalam konteks Indonesia berkarakter ekonomi yang didorong oleh kebijakan fiskal (fiscal policy driven economy).Â
Meskipun bertujuan untuk mendorong stabilitas dan pertumbuhan jangka panjang, kebijakan ini memunculkan tantangan baru, terutama bagi dunia usaha yang bergulat dengan dampak pelemahan nilai tukar rupiah dan tekanan eksternal seperti ketidakpastian global termasuk fluktuasi biaya energi dan logistik.
Konteks Penurunan Suku Bunga Acuan
Penurunan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate oleh BI bertujuan untuk merangsang konsumsi domestik dan investasi melalui kredit yang lebih murah.Â
Dampak positif turunnya BI rate antara lain :
1. Suku bunga kredit lebih rendah
2. Memicu perbaikan dan ekspansi pengusahaÂ
3. Investasi meningkat
4. Penyeimbang risiko inflasi
5. Mengurangi beban utangÂ
6. Mengurangi risiko pengangguran
Namun, dalam konteks struktur dan lanskap ekonomi Indonesia yang dinamis, kebijakan ini kerap terbentur oleh kelemahan struktural seperti rendahnya efek berganda dari kebijakan fiskal. Indonesia, yang selama ini mengandalkan belanja pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seringkali tidak mampu memastikan bahwa stimulus fiskal dapat diterjemahkan menjadi dorongan signifikan bagi dunia usaha. Selain itu, kebijakan fiskal Indonesia sering tidak sensitif terhadap dinamika bisnis. Misalnya, alokasi anggaran yang kurang tepat sasaran dan lambatnya implementasi kebijakan membuat efek dorongan terhadap sektor usaha menjadi terbatas. Hal ini menciptakan tantangan tambahan di tengah kondisi global yang tidak stabil.
Fluktuasi Harga Minyak dan Proyeksi Pasar
Fluktuasi harga minyak dunia menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor energi dan nilai tukar. Berdasarkan proyeksi dari U.S. Energy Information Administration (EIA), harga minyak mentah Brent pada tahun 2025 diperkirakan rata-rata mencapai $74 per barel, turun 8% dibandingkan dengan rata-rata tahun 2024. Penurunan ini akan berlanjut hingga 2026, dengan estimasi rata-rata $66 per barel, turun 11% dari 2025.
Pasokan minyak global juga diproyeksikan meningkat pada tahun 2025, dengan pertumbuhan sebesar 1,8 juta barel per hari, mencapai 104,7 juta barel per hari, dibandingkan peningkatan sebesar 660 ribu barel per hari pada tahun 2024. Produksi dari negara-negara non-OPEC+ diperkirakan akan meningkat sebesar 1,5 juta barel per hari pada tahun 2024 dan 2025, mencapai masing-masing 53,1 juta barel per hari dan 54,6 juta barel per hari.
Meskipun harga minyak mentah Brent diperkirakan menurun, Indonesia tetap menghadapi tantangan besar karena kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi selama bulan Ramadhan pada Maret-April 2025. Lonjakan aktivitas masyarakat dan konsumsi energi akan meningkatkan permintaan impor minyak mentah, yang pada gilirannya menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Dampak Kebijakan Penurunan Suku Bunga terhadap Bisnis
Penurunan suku bunga biasanya memberikan dorongan bagi dunia usaha melalui biaya kredit yang lebih rendah. Namun, dalam situasi saat ini, manfaat tersebut belum dirasakan secara signifikan karena beberapa faktor berikut:
Pelemahan Rupiah dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah akibat meningkatnya kebutuhan impor minyak, banyak pelaku usaha menghadapi tantangan berat. Biaya produksi yang bergantung pada bahan baku impor melonjak, sehingga margin keuntungan menurun.
Ketidakpastian Ekonomi Global dan fluktuasi harga minyak menciptakan ketidakpastian bagi investor. Meskipun suku bunga rendah dapat merangsang investasi, risiko nilai tukar yang tidak stabil membuat banyak pelaku usaha menahan ekspansi.
Rendahnya Efek Berganda Fiskal dalam ekonomi yang didorong kebijakan fiskal, belanja pemerintah seharusnya memberikan dorongan besar bagi sektor usaha. Namun, implementasi yang kurang efektif dan alokasi yang tidak tepat membuat banyak sektor usaha tidak merasakan manfaat langsung dari stimulus ini.
Tekanan Inflasi menjadi tantangan pasti, meskipun harga minyak dunia diproyeksikan turun dalam jangka panjang, pelemahan rupiah dapat memicu kenaikan harga BBM domestik, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap inflasi. Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli masyarakat, yang kemudian menekan konsumsi domestik.
Butuh Langkah Strategis Segera untuk menyelamatkan ekonomi tanpa terlalu mengorbankan dunia usaha, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah strategis:
- Diversifikasi Energi akan mengurangi ketergantungan pada minyak impor harus dikurangi. Pemerintah perlu mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mempromosikan diversifikasi energi domestik. Langkah ini tidak hanya mengurangi tekanan pada devisa, tetapi juga menciptakan ketahanan energi jangka panjang.
- Penguatan Ekspor Nonmigas untuk menambah cadangan devisa, pemerintah harus mendorong daya saing ekspor produk nonmigas. Kebijakan fiskal yang mendukung sektor manufaktur dan teknologi dapat membantu memperluas pasar ekspor Indonesia.
- Alokasi Anggaran yang Efektif bagi pemerintah perlu untuk memastikan bahwa belanja fiskal memiliki efek berganda yang tinggi. Program-program yang mendukung usaha kecil dan menengah (UKM) serta infrastruktur ekonomi harus menjadi prioritas utama.
- Peningkatan Cadangan Devisa dengan fluktuasi harga minyak dan tingginya kebutuhan dolar AS untuk impor, menjaga cadangan devisa menjadi sangat penting. Pemerintah perlu memperkuat sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal untuk memitigasi risiko eksternal.
- Pemberian Subsidi Tepat Sasaran di tengah kenaikan kebutuhan BBM selama Ramadhan, subsidi yang tepat sasaran dapat membantu menjaga daya beli masyarakat dan menekan inflasi.
Kebijakan penurunan suku bunga BI menjadi langkah berani di tengah tekanan global dan domestik. Namun, dalam ekonomi yang didominasi kebijakan fiskal seperti Indonesia, manfaat kebijakan moneter hanya dapat dirasakan optimal jika didukung oleh kebijakan fiskal yang efektif dan adaptif.
Harga minyak dunia yang diproyeksikan menurun, membuat pemerintah memiliki peluang untuk mengurangi beban impor dan memperkuat cadangan devisa. Namun, langkah ini membutuhkan sinergi strategis antara kebijakan moneter dan fiskal, serta fokus pada penguatan sektor energi dan ekspor untuk memastikan stabilitas ekonomi dan daya saing bisnis tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H