Beberapa orang mengenang Vietnam dengan kegigihan saat perang melawan Amerika Serikat sebagai salah satu sejarah kelam manusia melalui berbagai film layar lebar, sebut saja Platoon & Rambo.
Saat ini, Vietnam memiliki daya tarik dan daya saing yang lebih kuat dibandingkan Indonesia dalam berbagai aspek strategis, termasuk prestasi pendidikannya, kebijakan pajak, efisiensi pemerintahan, industri, perdagangan, dan investasinya. Artinya telah terjadi transformasi yang relatif efektif di Vietnam, seperti Ethiopia menjalankan transformasinya dari negara miskin dan penuh konflik, menjadi negara makmur dan damai.
Indonesia perlu melakukan pembenahan fundamental dan mendesak atas berjalannya reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing globalnya, seperti menyederhanakan birokrasi, memperbaiki kualitas pendidikan, memperbaiki iklim kemudahan berusaha dan memperluas diversifikasi ekspor ke sektor bernilai tambah tinggi. Selain itu, supremasi hukum perlu dilakukan lebih serius termasuk hukuman korupsi yang lebih tegas, agar dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap tata kelola pemerintah (good governance).Â
Jika dilihat kondisi kesehatan, Usia Harapan Hidup di Vietnam adalah 77,4 tahun, sementara di Indonesia 73,4 tahun. Mortalitas bayi di Vietnam (14,3 per 1.000 kelahiran) sementara di Indonesia (18,4 per 1.000 kelahiran) dan persentase penduduk dengan akses ke air bersih di Vietnam 98,7%, sementara di Indonesia 87,4%.
Vietnam menunjukkan keunggulan dalam memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dibandingkan Indonesia dan menjadikan FTA sebagai alat untuk memajukan sektor manufaktur, terutama elektronik, tekstil, dan agrikultur.Â
Vietnam lebih cepat menangkap peluang ekonomi global dengan pendekatan proaktif terhadap perdagangan bebas, sementara Indonesia sering terjebak dalam proses politik misalnya proses legislasi dan negosiasi yang panjang karena birokrasi dan politisasi kebijakan.
Perjanjian kerjasama ekonomi telah ditandatangani lebih banyak oleh Vietnam dibandingkan Indonesia, misalnya CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership), EVFTA (EU-Vietnam Free Trade Agreement), dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership).
Vietnam menjadi salah satu negara anggota aktif dalam perjanjian CPTPP sejak 2019. Perjanjian ini membuka akses Vietnam ke pasar besar seperti Kanada, Jepang, dan Australia. Dalam perjanjian EVFTA (EU-Vietnam Free Trade Agreement) yang mulai berlaku pada 2020, telah memungkinkan ekspor Vietnam ke Uni Eropa dengan tarif yang lebih rendah. Vietnam juga menjadi pemain aktif dalam perjanjian RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang melibatkan 15 negara Asia-Pasifik.
Sementara itu, Indonesia sering lambat dalam menyetujui FTA. Misalnya, Indonesia masih dalam tahap negosiasi untuk beberapa FTA utama seperti IEU-CEPA (Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang proses perundingannya sudah lebih dari 10 tahun di tahun 2024.
Pemerintah Vietnam mereformasi aturan tarif, bea cukai, dan logistik agar sesuai dengan standar global FTA termasuk menawarkan insentif pajak, jaminan stabilitas politik, dan infrastruktur kawasan industri untuk menarik investasi.Â
Vietnam menawarkan kebijakan pajak yang lebih menarik dengan penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 8%, dibandingkan Indonesia yang justru menaikkan PPN menjadi 12%. Hal ini memberikan insentif langsung bagi perusahaan untuk berinvestasi di Vietnam, terutama di sektor manufaktur. Kebijakan pajak yang lebih rendah ini, selain menjaga pertumbuhan permintaan dalam negeri dan global yang tangguh (resilient growth), namun juga meningkatkan daya saing Vietnam di pasar global, di mana efisiensi pemerintah dan swasta menjadi pertimbangan utama.
Salah satu hal kontradiktif terdapat dalam komitmen pemerintah Vietnam untuk mengurangi jumlah kementeriannya hingga 9 menteri, sementara Indonesia justru menambah 14 kementerian. Dengan struktur pemerintah yang lebih ramping, Vietnam berpotensi lebih efisien dalam pengambilan keputusan, implementasi kebijakan, dan pengelolaan birokrasi. Sebaliknya, penambahan kementerian di Indonesia berpotensi meningkatkan kompleksitas dan memperlambat proses administrasi.
Hukuman Korupsi dan Supremasi Hukum
Vietnam memiliki sistem hukum dimana hukumannya  jauh lebih tegas dan memberikan dampak jera terhadap korupsi, seperti hukuman mati untuk kasus besar, dibandingkan Indonesia yang hanya memberikan hukuman rata-rata 6,5 tahun penjara bahkan untuk kasus korupsi yang telah merugikan negara 300 Triliun. Pendekatan tegas ini menciptakan persepsi risiko tinggi terhadap tindakan korupsi, meskipun skor Indeks Persepsi Korupsi Vietnam (36) hanya sedikit lebih rendah dari Indonesia (37). Namun, supremasi hukum di Vietnam masih lebih lemah, terlihat dari peringkat Rule of Law yang lebih rendah dibandingkan Indonesia.
Unggul Dalam Pendidikan dan Kualitas Tenaga Kerja
Vietnam adalah salah satu negara ASEAN yang menunjukkan performa luar biasa di PISA, dengan skor tinggi dalam semua kategori, terutama matematika dan sains. Hanoi dan Ho Chi Minh City menjadi pusat dari pencapaian ini, dengan sekolah-sekolah unggulan dan kurikulum berbasis sains yang kuat.
Vietnam telah menekankan penguasaan keterampilan sains dan numerik secara lebih efektif. Untuk bersaing dengan Vietnam, Indonesia perlu memperkuat kurikulum sains dan meningkatkan ketersediaan guru serta infrastruktur pendukung seperti laboratorium modern.
Skor PISA 2023 Vietnam berbeda signifikan lebih tinggi dibanding Indonesia pada aspek membaca (505 vs. 371), matematika (496 vs. 379), dan sains (543 vs. 396). Keunggulan ini menunjukkan kualitas pendidikan yang lebih baik di Vietnam, yang berkontribusi pada kesiapan tenaga kerja dalam sektor-sektor bernilai tambah tinggi seperti manufaktur elektronik. Meskipun Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah Vietnam (91,7%) sedikit lebih tinggi dari Indonesia (89,3%), dampak kualitas pendidikan terhadap kemajuan ekonomi Vietnam jauh lebih besar.
Kontribusi Industri dan Perdagangan dalam Perekonomian Nasional
Vietnam mencatat kontribusi industri terhadap PDB sebesar 33,7%, jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya 18,67%. Vietnam juga memiliki tenaga kerja sektor industri yang lebih besar (15,2 juta vs. 14,6 juta) serta total nilai perdagangan lebih tinggi (USD 545,4 miliar vs. USD 293,4 miliar). Diversifikasi ekspor Vietnam di sektor manufaktur (elektronik, tekstil, sepatu) memberikan stabilitas ekonomi yang lebih baik dibandingkan Indonesia yang masih bergantung pada komoditas primer seperti batubara dan minyak sawit.
Kinerja Investasi Asing (FDI)
Vietnam lebih unggul dalam menarik FDI, terutama di sektor manufaktur dan pengolahan (47,7% dari total FDI) dibandingkan Indonesia (33%). Investasi global di Vietnam juga jauh lebih besar, seperti dari Samsung (Rp 289,8 triliun vs. Rp 8 triliun di Indonesia) dan Apple (Rp 265,7 triliun vs. Rp 1,6 triliun di Indonesia). Hal ini menunjukkan Vietnam menjadi destinasi utama bagi investor teknologi global, didorong oleh regulasi yang mendukung dan tenaga kerja yang lebih terampil.
Ketinggalan Indonesia dari Vietnam merupakan akibat dari berbagai faktor kompleks yang saling terkait. Indonesia perlu melakukan percepatan untuk transformasi dan reformasi yang komprehensif di berbagai bidang, seperti birokrasi, pendidikan, infrastruktur, sistem politik, sistem hukum yang berkeadilan, serta perbaikan iklim investasi. Indonesia perlu menyelesaikan negosiasi FTA seperti IEU-CEPA dan meningkatkan komitmen terhadap RCEP.
Selain itu, Indonesia juga perlu memiliki fokus yang lebih jelas dalam pembangunan ekonomi dan konsisten dalam menerapkan kebijakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif yang tangguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H