Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memaknai Seruan Presiden "Ikan Busuk Mulai dari Kepalanya"

24 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 24 Oktober 2024   07:10 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prabowo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia menyampaikan sebuah ungkapan, "Ikan menjadi busuk mulai dari kepalanya". Ungkapan ini sebagai "sesanti", komitmen dan sekaligus pesan moral akan pentingnya kepemimpinan yang baik dan bersih di setiap level pemerintahan.  Kerusakan dalam suatu organisasi (bisa juga negara sebagai sebuah organisasi) biasanya dimulai dari pucuk pimpinan. Ketika pemimpin gagal dalam menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan tanggung jawab, maka seluruh sistem di bawahnya akan ikut terpengaruh. 

Ungkapan "ikan busuk dimulai dari kepalanya" (the fish rots from the head down) sering dikaitkan dengan Marcus Tullius Cicero, tetapi sebenarnya ungkapan ini tidak berasal dari Cicero, melainkan sebuah ungkapan populer dalam budaya Turki dan Rusia, digunakan sebagai metafora tentang korupsi atau kehancuran yang dimulai dari pemimpin atau orang di posisi kekuasaan.

Cicero sendiri hidup pada abad pertama SM (106-43 SM) dan terkenal dengan orasi dan tulisannya tentang moralitas, hukum, dan kebajikan politik, tetapi tidak ada bukti langsung yang mengaitkan dia dengan ungkapan tersebut.

Prabowo dalam pidatonya juga menggunakan ungkapan tersebut untuk menekankan bahwa kepemimpinan di Indonesia memerlukan pembaruan yang mendasar, baik secara struktural maupun kultural. Reformasi struktural diperlukan untuk memastikan bahwa sistem politik dan pemerintahan kita tidak memberikan celah bagi munculnya pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri dan kerabat. Sementara itu, reformasi birokrasi juga bertujuan untuk mengubah mindset pemimpin dan masyarakat tentang pentingnya integritas, etika, dan tanggung jawab dalam kepemimpinan.

Prabowo juga menggarisbawahi pentingnya peran partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Pemimpin yang baik dipilih oleh rakyat cerdas. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih kritis dalam menilai calon pemimpin, dan tidak terjebak pada janji-janji manis semata. Mereka harus melihat rekam jejak, integritas, dan visi calon pemimpin sebelum memberikan dukungan. Dengan demikian, pemimpin yang terpilih adalah mereka yang benar-benar berkomitmen untuk bekerja demi kepentingan rakyat.

Keberhasilan sebuah negara sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan, dan tugas utama seorang pemimpin adalah bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kerabat.

Pembusukan dalam Suatu Kepemimpinan

Menurut Robert I. Rotberg dalam bukunya "The Corruption Cure: How Leaders and Citizens Can Combat Graft" (2017), pembusukan kepemimpinan sering kali bermula dari korupsi yang terorganisir secara sistematis. Rotberg menjelaskan bahwa korupsi bukan sekadar masalah legalitas, tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan dan tanggung jawab. Ketika para pemimpin menggunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi, sistem pemerintahan menjadi disfungsional, dan kepercayaan publik terhadap institusi hilang. Ini adalah bentuk pembusukan yang paling nyata, di mana sistem tidak lagi berfungsi untuk kebaikan bersama, melainkan untuk memperkaya segelintir orang di dalamnya.

Nurcholish Madjid (1998) dalam bukunya "Kepemimpinan Islam: Suatu Penafsiran Islam atas Sejarah Manusia" (1998), menekankan pentingnya moralitas dalam kepemimpinan. Madjid menegaskan bahwa pemimpin yang tidak berakar pada prinsip-prinsip etika dan moralitas akan terperosok dalam degradasi nilai. Menurutnya, tanpa moralitas yang kuat, pemimpin akan mudah tergoda oleh kepentingan pribadi dan akan sulit mencapai keadilan dan kesejahteraan yang merata.

Reformasi Kepemimpinan sebagai Solusi

Teori kepemimpinan modern menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam mencegah pembusukan kepemimpinan. James MacGregor Burns (1978) dalam karyanya "Leadership", memperkenalkan konsep kepemimpinan transformasional, di mana pemimpin harus mampu menginspirasi dan memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Burns berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional menekankan pada pertumbuhan moral, baik pada pemimpin maupun pengikut. Pemimpin yang transformasional berfokus pada kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, dan mampu menciptakan sistem yang akuntabel. 

Soekarno (1964), dalam bukunya "Di Bawah Bendera Revolusi" , menekankan pentingnya kepemimpinan yang revolusioner---yang bukan hanya berorientasi pada perubahan politik, tetapi juga perubahan sosial yang mendalam. Menurut Soekarno, pemimpin harus memiliki visi yang jelas untuk menciptakan keadilan sosial dan merombak struktur yang menindas rakyat. Pemimpin yang tidak berorientasi pada rakyat dan hanya fokus pada dirinya sendiri akan menciptakan kesenjangan dan, pada akhirnya, pembusukan dalam sistem.

Untuk menghentikan pembusukan, reformasi kepemimpinan harus diarahkan pada beberapa elemen penting:

1. Rekonstruksi Nilai Moral dan Etika

Teori kepemimpinan etis yang dikemukakan oleh Joanne B. Ciulla dalam bukunya "Ethics, the Heart of Leadership" (2014), menyatakan bahwa pemimpin harus memiliki komitmen moral yang tinggi. Ciulla menekankan bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang cara mencapai tujuan tersebut. Kepemimpinan yang beretika menghindari korupsi, manipulasi, dan eksploitasi. Reformasi kepemimpinan harus memastikan bahwa moralitas menjadi landasan dalam setiap keputusan yang diambil, di mana kepentingan bersama selalu diprioritaskan di atas keuntungan pribadi.

2. Penguatan Sistem Akuntabilitas dan Transparansi

Teori kepemimpinan oleh Joseph Stiglitz dalam bukunya "The Price of Inequality" (2012) menekankan bahwa ketidakadilan struktural sering kali terjadi karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Stiglitz menjelaskan bahwa ketika sistem politik dan ekonomi dikendalikan oleh segelintir elit, pembusukan mulai terjadi karena kekuasaan yang tidak diawasi menciptakan insentif untuk korupsi. Reformasi kepemimpinan harus memperkuat mekanisme pengawasan, baik melalui lembaga independen maupun dengan memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan.

3. Pemberdayaan Masyarakat sebagai Agen Perubahan

Teori partisipatif dari Paulo Freire dalam "Pedagogy of the Oppressed" (1970) sangat relevan dalam konteks reformasi kepemimpinan. Freire menekankan pentingnya pendidikan kritis yang mampu memberdayakan masyarakat untuk memahami sistem yang menindas mereka dan untuk bergerak sebagai agen perubahan. Dalam konteks reformasi kepemimpinan, masyarakat harus memiliki akses dan hak untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan pemantauan jalannya pemerintahan. Hal ini akan mencegah pemimpin bertindak tanpa pertanggungjawaban dan meminimalkan risiko pembusukan.

4. Kepemimpinan Inklusif dan Berkelanjutan

Buku "Leading Change" (1996) karya John P. Kotter menyajikan panduan bagaimana pemimpin dapat menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Kotter berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan yang berhasil, pemimpin harus dapat melibatkan semua lapisan masyarakat, membangun visi bersama, dan menciptakan momentum untuk perubahan. Reformasi kepemimpinan harus bersifat inklusif dan mengakomodasi suara dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, masyarakat sipil, hingga sektor swasta, untuk memastikan bahwa perubahan yang terjadi mencakup semua aspek yang terdampak oleh pembusukan.

Tanggung Jawab Pemimpin 

Sebagai presiden seorang pemimpin lembaga eksekutif tertinggi, tanggung jawab yang diemban sangat besar. Prabowo menekankan kepada para menteri serta pejabat tinggi lainnya, bahwa setiap kebijakan dan keputusan yang diambil di tingkat pemerintahan puncak akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas. Seorang pemimpin harus selalu berpikir jernih, bertindak dengan hati-hati, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Pemimpin yang baik tidak hanya memahami permasalahan yang dihadapi rakyatnya, tetapi juga mampu memberikan solusi yang nyata dan efektif.

Namun, seringkali kita melihat bahwa pemimpin justru terjebak dalam konflik kepentingan. Korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan sering kali menjadi masalah utama yang terjadi di puncak pemerintahan. Ketika seorang pemimpin terlibat dalam tindakan-tindakan ini, dampaknya tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap pemerintah secara keseluruhan. Inilah yang Prabowo maksudkan dengan "ikan menjadi busuk mulai dari kepalanya." Ketika pemimpin sudah busuk, seluruh sistem akan turut membusuk.

Korupsi dan Integritas Kepemimpinan

Prabowo dalam pidatonya juga menyoroti pentingnya integritas dalam kepemimpinan. Korupsi, yang seringkali dimulai dari tingkat tertinggi, menjadi penyakit kronis yang menghancurkan kepercayaan rakyat. Ketika pemimpin terlibat dalam praktik korupsi, mereka tidak hanya mencuri dari rakyat, tetapi juga mencontohkan perilaku buruk yang merusak moralitas di seluruh level pemerintahan. Akibatnya, praktik korupsi ini akan menyebar ke bawah, menyebabkan birokrasi yang tidak efisien dan merugikan rakyat.

Prabowo menyerukan perlunya reformasi dalam sistem pemerintahan, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Dia menekankan bahwa setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat, dan pengelolaan anggaran negara harus dilakukan dengan terbuka. Dengan demikian, publik dapat memantau dan menilai sejauh mana pemerintah bekerja untuk kepentingan mereka.

Kebijakan yang Berpihak pada Rakyat

Dalam pidatonya, Prabowo juga menyoroti pentingnya kebijakan yang pro-rakyat. Menurutnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang selalu memikirkan kesejahteraan rakyat dalam setiap keputusan yang diambil. Kebijakan ekonomi, sosial, dan politik harus berpihak pada masyarakat luas, terutama mereka yang berada di posisi paling rentan seperti kaum miskin, perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

Contoh nyata dari kebijakan pro-rakyat yang bisa diimplementasikan adalah pembangunan infrastruktur yang merata, akses pendidikan yang terjangkau, serta layanan kesehatan yang mudah dijangkau. Prabowo berkomitmen bahwa kebijakannya akan fokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, dengan memprioritaskan program-program yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.

Selain itu, ia menegaskan pentingnya pemberdayaan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elit ekonomi, menurutnya, harus diubah menjadi kebijakan yang memberikan kesempatan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk berkembang. Dalam dunia bisnis, pemerintah harus menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, tetapi tidak melupakan kepentingan masyarakat luas.

Membangun Kembali Kepercayaan Publik

Salah satu tantangan terbesar bagi pemimpin saat ini adalah membangun kembali kepercayaan publik yang telah terkikis oleh berbagai skandal dan kegagalan pemerintah sebelumnya. Prabowo menyadari bahwa tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, pemerintahan yang efektif tidak akan mungkin tercapai. Oleh karena itu, ia berjanji untuk bekerja keras dalam memulihkan hubungan antara pemerintah dan rakyat, dengan menunjukkan komitmen nyata terhadap transparansi, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Dalam upaya untuk membangun kembali kepercayaan, Prabowo juga menekankan pentingnya mendengarkan aspirasi rakyat. Ia berjanji bahwa pemerintahannya akan selalu terbuka terhadap kritik dan saran dari masyarakat. Kritik yang membangun, menurutnya, adalah bahan evaluasi yang penting untuk terus memperbaiki kebijakan dan kinerja pemerintah.

Ungkapan "ikan menjadi busuk mulai dari kepalanya" yang disampaikan oleh Prabowo dalam pidato pelantikannya bukan hanya sekadar peringatan, tetapi juga panggilan untuk perubahan. Kepemimpinan yang buruk di tingkat tertinggi akan berdampak negatif pada seluruh sistem pemerintahan dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang berintegritas, transparan, dan berpihak pada rakyat. Dengan reformasi yang tepat, kepemimpinan yang baik, dan kebijakan pro-rakyat, Prabowo berharap dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik, di mana kepercayaan publik terhadap pemerintah kembali terbangun, dan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.

Pemimpin dalam Piramida Kekuasaan 

Pemimpin berada di puncak piramida kekuasaan dengan tanggung jawab besar di pundaknya. Dalam sistem demokrasi seperti Indonesia, pemimpin dipilih oleh rakyat untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, sayangnya tidak semua pemimpin benar-benar menjalankan amanah tersebut. Banyak yang hanya sibuk memperkuat posisi politik, memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, sementara kebutuhan rakyat seringkali terabaikan.

Sebagai penentu arah kebijakan, pemimpin memiliki kewajiban untuk mengambil keputusan yang berdampak positif bagi rakyat. Namun, ketika pemimpin gagal dalam tugas ini, seluruh sistem pemerintahan dan masyarakat ikut terpengaruh. Inilah yang dimaksud dengan ikan yang busuk mulai dari kepalanya. Ketika keputusan-keputusan salah diambil di tingkat atas, dampaknya akan menjalar ke bawah, menyebabkan kerusakan yang luas di berbagai sektor.

Kebutuhan Akan Pemimpin Visioner

Ketika ikan busuk mulai dari kepalanya, satu-satunya cara untuk menghentikan pembusukan adalah dengan mengganti kepala itu sendiri. Dalam konteks politik dan pemerintahan, ini berarti pentingnya memiliki pemimpin yang visioner, berintegritas, dan benar-benar peduli pada kepentingan rakyat. Pemimpin visioner adalah mereka yang tidak hanya memikirkan jangka pendek, tetapi juga masa depan bangsa.

Pemimpin visioner memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang sulit, tetapi penting, demi kebaikan jangka panjang. Mereka mampu melihat gambaran besar dan memikirkan bagaimana keputusan hari ini akan memengaruhi generasi mendatang. Pemimpin seperti ini juga mampu memotivasi bawahannya untuk bekerja dengan penuh dedikasi, karena mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan memiliki makna yang lebih besar bagi masyarakat luas.

Salah satu dampak terbesar dari pembusukan kepemimpinan adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Ketika pemimpin terus-menerus gagal memenuhi harapan rakyat, kepercayaan terhadap institusi pemerintahan pun ikut runtuh. Ini bisa menyebabkan krisis legitimasi, di mana rakyat tidak lagi percaya bahwa pemerintah mampu mengelola negara dengan baik. Akibatnya, hubungan antara pemerintah dan rakyat menjadi renggang, dan muncul potensi konflik sosial.

Dalam upaya mengembalikan kepercayaan rakyat, pemimpin harus menunjukkan komitmen nyata dalam memperbaiki kesalahan. Mereka harus membuka diri terhadap kritik, memperbaiki kebijakan yang keliru, dan memastikan bahwa kepentingan rakyat selalu menjadi prioritas utama. Hanya dengan demikian, pemimpin dapat memperbaiki reputasi mereka dan membangun kembali hubungan yang sehat dengan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun