Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memaknai Seruan Presiden "Ikan Busuk Mulai dari Kepalanya"

24 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 24 Oktober 2024   07:10 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori kepemimpinan modern menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam mencegah pembusukan kepemimpinan. James MacGregor Burns (1978) dalam karyanya "Leadership", memperkenalkan konsep kepemimpinan transformasional, di mana pemimpin harus mampu menginspirasi dan memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Burns berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional menekankan pada pertumbuhan moral, baik pada pemimpin maupun pengikut. Pemimpin yang transformasional berfokus pada kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, dan mampu menciptakan sistem yang akuntabel. 

Soekarno (1964), dalam bukunya "Di Bawah Bendera Revolusi" , menekankan pentingnya kepemimpinan yang revolusioner---yang bukan hanya berorientasi pada perubahan politik, tetapi juga perubahan sosial yang mendalam. Menurut Soekarno, pemimpin harus memiliki visi yang jelas untuk menciptakan keadilan sosial dan merombak struktur yang menindas rakyat. Pemimpin yang tidak berorientasi pada rakyat dan hanya fokus pada dirinya sendiri akan menciptakan kesenjangan dan, pada akhirnya, pembusukan dalam sistem.

Untuk menghentikan pembusukan, reformasi kepemimpinan harus diarahkan pada beberapa elemen penting:

1. Rekonstruksi Nilai Moral dan Etika

Teori kepemimpinan etis yang dikemukakan oleh Joanne B. Ciulla dalam bukunya "Ethics, the Heart of Leadership" (2014), menyatakan bahwa pemimpin harus memiliki komitmen moral yang tinggi. Ciulla menekankan bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang cara mencapai tujuan tersebut. Kepemimpinan yang beretika menghindari korupsi, manipulasi, dan eksploitasi. Reformasi kepemimpinan harus memastikan bahwa moralitas menjadi landasan dalam setiap keputusan yang diambil, di mana kepentingan bersama selalu diprioritaskan di atas keuntungan pribadi.

2. Penguatan Sistem Akuntabilitas dan Transparansi

Teori kepemimpinan oleh Joseph Stiglitz dalam bukunya "The Price of Inequality" (2012) menekankan bahwa ketidakadilan struktural sering kali terjadi karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Stiglitz menjelaskan bahwa ketika sistem politik dan ekonomi dikendalikan oleh segelintir elit, pembusukan mulai terjadi karena kekuasaan yang tidak diawasi menciptakan insentif untuk korupsi. Reformasi kepemimpinan harus memperkuat mekanisme pengawasan, baik melalui lembaga independen maupun dengan memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan.

3. Pemberdayaan Masyarakat sebagai Agen Perubahan

Teori partisipatif dari Paulo Freire dalam "Pedagogy of the Oppressed" (1970) sangat relevan dalam konteks reformasi kepemimpinan. Freire menekankan pentingnya pendidikan kritis yang mampu memberdayakan masyarakat untuk memahami sistem yang menindas mereka dan untuk bergerak sebagai agen perubahan. Dalam konteks reformasi kepemimpinan, masyarakat harus memiliki akses dan hak untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan pemantauan jalannya pemerintahan. Hal ini akan mencegah pemimpin bertindak tanpa pertanggungjawaban dan meminimalkan risiko pembusukan.

4. Kepemimpinan Inklusif dan Berkelanjutan

Buku "Leading Change" (1996) karya John P. Kotter menyajikan panduan bagaimana pemimpin dapat menciptakan perubahan yang berkelanjutan. Kotter berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan yang berhasil, pemimpin harus dapat melibatkan semua lapisan masyarakat, membangun visi bersama, dan menciptakan momentum untuk perubahan. Reformasi kepemimpinan harus bersifat inklusif dan mengakomodasi suara dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, masyarakat sipil, hingga sektor swasta, untuk memastikan bahwa perubahan yang terjadi mencakup semua aspek yang terdampak oleh pembusukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun