2. Mundur dari Diplomasi Kebudayaan ke Politisasi Kebudayaan
Kekhawatiran terbesar kedua adalah potensi kebudayaan Indonesia yang bisa berubah dari alat diplomasi kebudayaan menjadi alat politisasi kebudayaan. Diplomasi kebudayaan, menurut Joseph Nye (2004) dalam bukunya "Soft Power: The Means to Success in World Politics" , merupakan upaya mempengaruhi negara lain melalui daya tarik budaya, nilai-nilai, dan kebijakan, tanpa menggunakan kekuatan militer atau ekonomi. Indonesia, di bawah Hilmar, telah menggunakan kebudayaan sebagai alat diplomasi yang efektif, misalnya melalui repatriasi benda-benda bersejarah dari negara-negara bekas penjajah.
Dalam kementerian baru sekarang ada risiko bahwa kebijakan kebudayaan akan bergeser dari diplomasi menuju politisasi, di mana kebudayaan digunakan sebagai instrumen politik domestik, seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Dalam konteks politisasi kebudayaan, seni dan kebudayaan hanya berfungsi sebagai alat untuk mendukung agenda politik penguasa, bukan sebagai ruang dialog kritis dan ruang ekspresi masyarakat. Ini bertentangan dengan substansi tujuan diplomasi kebudayaan yang seharusnya memperkuat identitas nasional dan hubungan internasional melalui nilai-nilai kebudayaan yang inklusif dan dinamis.
3. Pemahaman Empiris tentang Kebudayaan
Diplomasi kebudayaan yang efektif membutuhkan pemahaman mendalam tentang kebudayaan sebagai praktik sosial yang dinamis. Dalam teori kebudayaan kontemporer, Clifford Geertz (1973) dalam bukunya "The Interpretation of Cultures" menekankan pentingnya memahami kebudayaan sebagai "sistem makna yang dianyam oleh manusia," di mana setiap praktik kebudayaan memiliki konteks sosial dan sejarah yang kompleks. Kebijakan kebudayaan yang efektif harus mampu menangkap dinamika ini, serta merespon kebutuhan masyarakat lokal.
Hilmar Farid, dengan latar belakangnya sebagai aktivis dan akademisi, mampu merangkul dinamika tersebut dengan mendorong inisiatif-inisiatif budaya dari akar rumput. Di bawah kepemimpinannya, kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai produk warisan, tetapi sebagai ruang interaksi sosial yang mencerminkan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, jika nakhoda kementerian dengan latar belakang elitis, mungkin tidak memiliki pengalaman empiris yang cukup kuat untuk merumuskan kebijakan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat budaya Indonesia.
4. Kembalinya Masa Kegelapan Kebudayaan
Di bawah kepemimpinan Hilmar, pemerintah bertransformasi dari pengendali kebudayaan menjadi fasilitator kebudayaan. Pemerintah membuka ruang bagi inisiatif lokal dan mendukung kreativitas masyarakat tanpa intervensi yang berlebihan. Ini merupakan pencapaian penting dalam sejarah kebijakan kebudayaan Indonesia, di mana kebebasan berekspresi dan kreativitas masyarakat budaya mendapatkan tempat yang lebih signifikan.
Namun, dengan perubahan kepemimpinan melalui lahirnya Kementerian Kebudayaan, ada kekhawatiran bahwa kebudayaan akan kembali digunakan sebagai alat kontrol politik. Kebijakan kebudayaan seharusnya tidak berfokus pada konservatisme dan formalitas birokratis. Kita mungkin akan kehilangan momentum kebebasan budaya yang telah dibangun selama lima tahun terakhir. Kebudayaan harus tetap menjadi ruang kritik sosial yang bebas, bukan alat propaganda politik.
5. Keberlanjutan atau Kemunduran?
Kritik terhadap kebijakan kebudayaan Indonesia di bawah menteri baru berkaitan dengan keberlanjutan inisiatif yang telah dibangun oleh Hilmar Farid. Kebudayaan harus terus didorong sebagai ruang yang dinamis, inklusif, dan kritis, di mana masyarakat budaya dapat berekspresi bebas dan berinteraksi dengan dunia luar. Dalam konteks ini, Edward Said (1993) melalui bukunya "Culture and Imperialism" menekankan pentingnya kebudayaan sebagai ruang perlawanan terhadap dominasi kekuasaan, baik di tingkat domestik maupun internasional.