Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kekhawatiran terhadap Nakhoda Baru Kementerian Kebudayaan

22 Oktober 2024   06:43 Diperbarui: 22 Oktober 2024   11:37 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi pemajuan kebudayaan | sumber: kompas.com)

Pasca kehadiran figur Hilmar Farid dalam struktur kebijakan kebudayaan Indonesia, optimisme berkembang di kalangan akar rumput dan praktisi budaya. Meskipun bukan seorang menteri saat itu, Hilmar memiliki kompetensi dan wawasan luas yang memberinya pengaruh signifikan dalam pengembangan kebudayaan Indonesia. Kiprah Dirjen Kebudayaan dalam era kepemimpinan Hilmar, telah membangun fondasi kuat pentingnya republik ini memiliki suatu Kementerian Kebudayaan. Prestasinya dalam lima tahun terakhir, seperti repatriasi benda rampasan perang dan pengembangan festival kebudayaan, menunjukkan bahwa pendekatan strategisnya mampu membawa perubahan besar dalam ekosistem kebudayaan. Tulisan ini terinspirasi oleh dialog saya dengan tokoh muda kebudayaan yang progresif dalam upaya mengelaborasi berseraknya pemikiran kebudayaan menjadi sebuah mozaik. 

Penunjukan Fadli Zon (FZ) sebagai nakhoda baru Kementerian Kebudayaan menimbulkan kekhawatiran akan masa depan pemajuan kebudayaan Indonesia. FZ, dengan latar belakang politisi dan birokrat, dipandang memiliki perspektif konservatif tentang kebudayaan yang lebih fokus pada warisan budaya dan konservasi kebudayaan dalam makna sempit daripada dinamika politik kebudayaan kontemporer. Pertanyaan besar adalah apakah FZ akan mampu melanjutkan momentum pemajuan kebudayaan yang telah dibangun Hilmar, atau malah kembali ke masa di mana kebudayaan menjadi alat politik dan diplomasi kebudayaan yang formalistik.

1. Keberlanjutan Infrastruktur Kebudayaan

Hilmar Farid, memberi ruang kebudayaan Indonesia melalui desentralisasi, tidak lagi terpusat di Jakarta atau Jawa, melainkan menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah undang-undang pertama di Indonesia yang mengatur kebudayaan nasional. Undang-undang ini disahkan pada 27 April 2017 di era Hilmar sebagai dirjen kebudayaan kala itu. Dalam beleid ini, tercipta harapan, ruang dan peta jalan pemajuan kebudayaan yang ditopang oleh infrastruktur kebudayaan serta gerakan kebudayaan partispatif. Memajukan kebudayaan sudah seharusnya didukung sepenuhnya oleh kebijakan yang desentralistik. Pemajuan kebudayaan Indonesia semestinya dikuatkan oleh gerakan kebudayaan yang partisipatif dan polisentrik. Undang-undang pemajuan kebudayaan yang sudah ada bertujuan untuk: 

1. Meningkatkan ketahanan budaya Indonesia 

2. Meningkatkan kontribusi budaya Indonesia di dunia 

3. Menjadikan kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan bangsa 

Dalam undang-undang tersebut, telah diatur beberapa hal, seperti: Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu yang digunakan untuk menginventarisasi objek pemajuan kebudayaan, serta Kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pencatatan dan pendokumentasian objek pemajuan kebudayaan dan Kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Objek pemajuan kebudayaan meliputi spektrum yang sangat luas mulai Tradisi lisan, Manuskrip, Adat istiadat, Ritus, Pengetahuan tradisional, Teknologi tradisional, Seni, Bahasa, Permainan rakyat, Olahraga tradisional sampai dengan kebudayaan politik.

Infrastruktur kebudayaan seperti museum dan cagar budaya (MCB) telah didirikan di berbagai daerah, menghubungkan institusi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke. Proyek besar ini kini menghadapi tantangan keberlanjutan jika nakhoda Kementerian Kebudayaan tidak memiliki visi yang sama. Proyek-proyek MCB yang masih berlangsung harus dijaga agar tidak mangkrak, karena keberlanjutannya merupakan pondasi penting bagi perkembangan kebudayaan Indonesia di masa mendatang.

Teori pemajuan kebudayaan yang relevan dalam konteks ini adalah pemikiran Terry Eagleton (2000) dalam bukunya "The Idea of Culture", menekankan pentingnya menggabungkan dinamika kekuatan sosial dan budaya dalam proses pemajuan kebudayaan. Kebudayaan tidak boleh hanya dilihat sebagai artefak masa lalu, tetapi harus berkembang sebagai entitas yang hidup dan dinamis, serta mencerminkan kehidupan sosial dalam bentang tantangan kontemporer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun