Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kabinet Tergemuk Ketiga dalam Sejarah Kabinet Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global

20 Oktober 2024   13:35 Diperbarui: 20 Oktober 2024   14:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabinet Prabowo Subianto 2024-2029 dikabarkan akan menjadi kabinet terbesar ketiga dalam sejarah Indonesia, dengan 49 menteri dan 59 wakil menteri atau pejabat tinggi lain yang setara, setelah Kabinet Dwikora I di bawah kepemimpinan Sukarno pada tahun 1964-1966 terdiri dari 111 menteri dan Kabinet Dwikora II juga disebut Kabinet yang Disempurnakan karena jumlah menteri dan pejabat setingkat menteri mencapai 132 orang.

Kabinet Jokowi pada periode kedua (2019-2024) memiliki 34 menteri, dan pada masa Prabowo (2024 - 2029), kabinet diproyeksikan semakin gemuk dengan 108 pejabat.

Berdasarkan analisa Center of Economic and Law Studies (Celios), dengan asumsi perhitungan gaji dan tunjangan menteri sebesar Rp150 juta per bulan, gaji dan tunjangan wamen sebesar Rp100 juta per bulan, serta anggaran operasional diasumsikan Rp500 juta per bulan per menteri dan wakil menteri.

Berdasarkan asumsi itu, per tahunnya, maka total gaji dan tunjangan sebanyak 49 menteri adalah sebesar Rp88,2 miliar per tahun. Kemudian, gaji dan tunjangan sebanyak 59 wamen diasumsi akan membebankan kas negara sebesar Rp70,8 miliar per tahun.

Sementara anggaran operasional menteri dan wamen diperhitungkan membutuhkan anggaran Rp648 miliar per tahun. Total estimasi kebutuhan anggaran untuk gaji menteri dan wamen di era Prabowo-Gibran adalah sebesar Rp777 miliar per tahun.

Jika dibandingkan dengan perhitungan yang sama, total anggaran untuk gaji dan tunjangan menteri dan wakil menteri era Jokowi-Ma'ruf Amin adalah sebesar Rp387,6 miliar per tahun. Maka estimasi ada peningkatan anggaran sebesar Rp389,4 miliar per tahun.

Peningkatan anggaran untuk menteri dari era Jokowi ke era Prabowo diperkirakan mencapai Rp1,95 triliun, berdasarkan asumsi tersebut.

Indonesia saat ini tengah menghadapi deflasi terbanyak pasca pandemi dan terakhir tercatat sebesar 0,12% pada September 2024, yang menunjukkan fenomena penurunan daya beli dari konsumsi masyarakat meskipun secara teknis hal ini dipengaruhi oleh "volatile price" dari komoditi pangan. Cadangan devisa di awal Oktober 2024 juga menurun menjadi USD 149,9 miliar dari USD 150 miliar pada bulan sebelumnya, di tengah ancaman pelemahan nilai tukar rupiah akibat meningkatnya ketidakpastian geopolitik global. Tren Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur dan jasa terus mengalami kontraksi, masing-masing berada di angka 48,5 dan 49,3 pada September 2024, mengindikasikan pelambatan di sektor ekonomi utama. Kita juga bisa melihat dari jumlah kelas menengah yang saat ini menjadi 17,13% menurun sebesar 4,32% dari proporsi kelas menengah tahun 2019 yang mencapai 21,45% dari total populasi saat itu. Jumlah kelas menengah tahun 2024 sebanyak 47,85 juta orang.

Penanganan krisis ekonomi seharusnya menjadi fokus pemerintah, namun dengan adanya penambahan jumlah menteri dan wakil menteri, pemerintah justru menambah beban anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 777 miliar per tahun. Struktur kabinet yang besar cenderung akan memperlambat pengambilan keputusan dan menambah beban administrasi, sebagaimana dikritik oleh Max Weber (1922) dalam "Economy and Society", yang menekankan pentingnya birokrasi yang efisien dan rasional.

Postur APBN 2025 dan Ancaman Ketidakefisienan

APBN 2025 mencerminkan prioritas yang tidak seimbang. Alokasi untuk belanja pegawai meningkat menjadi Rp 513,22 triliun, naik sekitar 11,36% dari outlook APBN 2024 yang hanya sebesar Rp 460,86 triliun.

Kabinet gemuk dalam postur APBN yang terbatas, menjadi semakin ironis saat keuangan negara akan lebih banyak terserap untuk biaya birokrasi dibandingkan untuk program pemulihan ekonomi yang sangat dibutuhkan.

Ancaman krisis ekonomi yang semakin nyata memerlukan kebijakan efektif dan efisien. Penambahan jumlah menteri dan wakil menteri hanya akan memperburuk beban fiskal, terutama di tengah daya beli masyarakat yang menurun, cadangan devisa yang tergerus, dan lemahnya kinerja sektor manufaktur dan jasa. Kabinet yang gemuk bukan solusi, melainkan beban tambahan bagi negara yang seharusnya lebih fokus pada perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Perbandingan Besar Kabinet Beberapa Negara 

Dwight Waldo (1948) dalam The Administrative State, mengkritik kecenderungan pemerintah untuk memperbesar birokrasi dengan dalih stabilitas politik. Waldo menyatakan bahwa birokrasi yang besar cenderung tidak efisien dan boros, karena semakin banyaknya aktor politik yang harus diakomodasi dalam struktur pemerintahan. Ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana kabinet yang gemuk semakin menambah beban pada APBN yang sudah terbebani oleh utang.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ukuran kabinet Indonesia jauh lebih besar. Di Amerika Serikat, kabinet terdiri dari 15 kementerian inti, sementara di Jerman dan Belanda, jumlah kementerian tidak lebih dari 16. Struktur ini memungkinkan efisiensi dalam pengambilan keputusan, dengan fokus yang jelas pada isu-isu strategis.

Di Singapura, kabinet hanya memiliki sekitar 20 kementerian, tetapi mereka mampu menjalankan pemerintahan yang efektif dan responsif. Ini menunjukkan bahwa ukuran kabinet tidak berbanding lurus dengan efektivitas. Kabinet yang kecil namun profesional justru lebih mampu menangani tantangan ekonomi dan sosial secara cepat dan tepat.

Pentingnya Efisiensi dan Responsif dalam Pemerintahan

Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang menghadapi deflasi, penurunan cadangan devisa, serta perlambatan sektor manufaktur dan jasa, pemerintah harus segera mengevaluasi prioritas kebijakannya. Postur APBN 2025 yang tidak seimbang, dengan belanja birokrasi yang terus membengkak, harus dikoreksi agar lebih berorientasi pada pemulihan ekonomi rakyat dan penguatan daya beli.

Pelajaran dari negara-negara lain tadi, menunjukkan bahwa kabinet yang kecil, efisien, dan profesional lebih efektif dalam mengelola krisis ekonomi. Indonesia harus mengambil langkah tegas untuk merampingkan struktur kabinet dan memperkuat fokus pada kebijakan yang pro-rakyat dan berorientasi pada pemulihan ekonomi. Kabinet gemuk bukanlah solusi untuk tantangan yang dihadapi; yang dibutuhkan adalah efisiensi, kompetensi, dan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Tipologi Kabinet Berdasarkan Bentuk Pemerintahan

Kabinet di berbagai negara mencerminkan tipologi yang berbeda berdasarkan bentuk pemerintahan yang dianut, antara lain:

1. Kabinet dalam Sistem Presidensial

Di negara-negara dengan sistem presidensial seperti Amerika Serikat, Indonesia, dan Filipina, presiden memiliki kekuasaan eksekutif penuh dalam membentuk kabinet. Kabinet dipilih langsung oleh presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, bukan kepada parlemen. Kabinet cenderung lebih besar di negara-negara dengan sistem presidensial seperti Indonesia, karena pembagian kekuasaan politik sering kali menjadi faktor utama.

2. Kabinet dalam Sistem Parlementer

Di negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Belanda, kabinet dibentuk oleh partai atau koalisi yang menguasai parlemen. Menteri-menteri bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat diganti melalui mosi tidak percaya. Kabinet dalam sistem parlementer cenderung lebih kecil dan fokus, karena kontrol parlemen lebih ketat dan menteri dipilih berdasarkan kompetensi politik dan teknokratik.

3. Kabinet dalam Sistem Semi-Presidensial

Negara seperti Prancis memiliki kabinet dalam sistem semi-presidensial, di mana presiden dan perdana menteri berbagi kekuasaan eksekutif. Kabinet di negara semi-presidensial sering kali mencerminkan perpaduan antara kendali eksekutif presiden dan pengaruh legislatif.

Efek Kabinet Gemuk

Dengan membandingkan kabinet di berbagai negara, jelas bahwa ukuran kabinet yang terlalu besar tidak memberikan jaminan efektivitas. Kabinet gemuk di Indonesia, dengan jumlah menteri yang sering kali melebihi 30, sering kali diisi oleh menteri-menteri yang posisinya lebih dipengaruhi oleh konsesi politik daripada kompetensi teknis. Hal ini tidak hanya membuat birokrasi semakin lamban, tetapi juga menambah beban anggaran negara.

Indonesia dapat belajar dari negara-negara seperti Singapura, Amerika Serikat, dan Jerman, yang fokus pada kabinet yang kecil tetapi efisien. Efisiensi birokrasi bukan tentang seberapa banyak menteri, tetapi bagaimana kabinet tersebut mampu merespon tantangan yang dihadapi rakyat.

Selain itu, semakin besar kabinet, semakin besar potensi terjadinya kolusi dan korupsi karena lebih banyak jabatan yang diperebutkan untuk kepentingan elit politik. Hal ini membahayakan proses pengambilan keputusan yang seharusnya berpihak pada rakyat. (TA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun