Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Paradoks Zaken Kabinet di Tengah Pragmatisme Politik Akomodasi

16 Oktober 2024   07:07 Diperbarui: 16 Oktober 2024   21:46 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diorama Kabinet Zaken, foto dokumentasi Antara (sumber: kompas.id)

Menjelang pelantikan kabinet baru pada 20 Oktober 2024, gagasan tentang Zaken Kabinet kembali menjadi sorotan di tengah dinamika politik nasional. Zaken Kabinet, sebuah kabinet yang terdiri dari teknokrat atau profesional non-partisan, dipandang sebagai solusi ideal untuk mengatasi berbagai tantangan negara secara lebih efisien, dengan mengedepankan keahlian dan profesionalisme. 

Namun, dalam kenyataannya, pragmatisme politik dan politik transaksional masih menjadi kekuatan dominan yang mengarahkan pembentukan kabinet. 

Dalam konteks ini, sosok Leviathan, yang diabadikan oleh filsuf Thomas Hobbes pada 1651 dalam karyanya Leviathan, menjadi simbol yang relevan untuk memahami ketidakpastian dan kekuatan politik yang sulit dikendalikan, yang sering kali membayangi pemerintahan.

Tentang Zaken Kabinet

Konsep Zaken Kabinet berasal dari bahasa Belanda, yang secara harfiah berarti "kabinet urusan." 

Herman van den Berghe (1983), dalam bukunya yang berjudul "De Zakenkabinetten: Politieke Behoefte of Technocratische Illusie?" mengkaji perkembangan dan penerapan konsep Zaken Kabinet di Belanda serta di negara-negara Eropa lainnya. 

Ia membahas bagaimana Zaken Kabinet menjadi jawaban terhadap ketidakstabilan politik di berbagai negara, terutama ketika pemerintah harus menghadapi tantangan krisis ekonomi atau politik.

Van den Berghe menjelaskan bahwa Zaken Kabinet dipandang sebagai solusi yang bisa memberikan ruang bagi teknokrat untuk mengambil alih pengelolaan negara dengan lebih fokus pada keahlian dan urgensi kebijakan, ketimbang kepentingan politik. 

Namun, ia juga mengkritik bahwa meskipun secara teoritis konsep ini terlihat ideal, dalam praktiknya, Zaken Kabinet sering kali menghadapi kesulitan besar dalam beroperasi dalam sistem politik yang demokratis. 

Ketergantungan pada dukungan dari partai politik tetap tidak bisa dihindari, sehingga hal ini menimbulkan dilema antara efisiensi teknokratik dan representasi politik.

Melalui analisis ini, Van den Berghe berpendapat bahwa Zaken Kabinet sering kali merupakan "ilusi teknokratis" yang sulit diterapkan sepenuhnya dalam konteks politik yang sarat dengan kepentingan partai.

Zaken Kabinet konsepnya adalah kabinet yang diisi oleh para profesional atau teknokrat, bukan didominasi politisi, dan dirancang untuk menangani masalah-masalah negara dengan pendekatan teknokrasi berbasis keahlian, bukan kepentingan politik. 

Zaken Kabinet awalnya muncul di Belanda pada awal abad ke-20, di mana pemerintah harus menghadapi situasi krisis ekonomi dan politik, memerlukan keputusan yang cepat dan tepat.

Di Indonesia, Kabinet Djuanda (1957-1959) sering disebut sebagai contoh Zaken Kabinet. Kabinet ini dibentuk pada saat ketidakstabilan politik meningkat dan diisi oleh profesional yang diharapkan mampu menyelesaikan tantangan-tantangan besar tanpa intervensi kepentingan politik yang berlebihan.

Secara teori, Zaken Kabinet dibentuk untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efisien, di mana keputusan diambil oleh para ahli yang kompeten di bidangnya, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih berbasis data dan objektif. 

Para teknokrat yang memimpin berbagai kementerian diharapkan mampu meminimalisir konflik kepentingan yang sering muncul dalam kabinet politik tradisional, yang didominasi oleh pembagian kekuasaan antar partai.

Teori ini sejalan dengan upaya untuk menghadapi krisis dengan kecepatan dan ketepatan, bebas dari tekanan politik. Dalam sistem politik yang lebih stabil, Zaken Kabinet dapat menjadi model pemerintahan yang mampu memfokuskan diri pada kepentingan umum. 

Namun, tantangan dalam menerapkan model ini di negara seperti Indonesia, yang menganut sistem multipartai, sangat signifikan, karena elite politik sering kali mengutamakan pembagian kekuasaan di antara koalisi politik.

Zaken Kabinet di Dunia

Salah satu contoh Zaken Kabinet yang berhasil adalah kabinet Mario Monti di Italia pada 2011. Italia saat itu berada di ambang krisis ekonomi, dan Monti, seorang ekonom ternama, ditunjuk sebagai perdana menteri untuk memimpin sebuah kabinet teknokrat. Kabinet ini diharapkan dapat mengimplementasikan reformasi struktural tanpa pengaruh politik partisan. 

Di Yunani, situasi serupa terjadi pada 2011 ketika Lucas Papademos, seorang ekonom, memimpin sebuah Zaken Kabinet di tengah krisis utang yang melanda negara tersebut.

Zaken Kabinet di Indonesia

Di Indonesia, Zaken Kabinet menjadi relevan ketika pemerintahan membutuhkan stabilitas dan kepemimpinan yang berfokus pada hasil nyata, seperti pada Kabinet Djuanda di akhir 1950-an. Meski demikian, pembentukan kabinet di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir lebih sering dipengaruhi oleh kompromi politik antar partai koalisi. 

Pembagian jabatan menteri sering kali tidak berdasarkan keahlian teknis, melainkan sebagai bentuk imbalan politik. Hal ini menciptakan tantangan serius dalam upaya menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien.

Leviathan: Simbol Ketidakpastian dan Kekuatan Tak Terkendali

Thomas Hobbes, dalam bukunya Leviathan (1651), menggambarkan Leviathan sebagai metafora untuk kekuatan negara yang luar biasa, yang pada satu sisi diperlukan untuk menciptakan ketertiban, namun pada sisi lain bisa menjadi ancaman jika terlalu besar dan tidak terkendali. 

Hobbes menulis bahwa tanpa kekuasaan yang kuat, "kehidupan manusia akan menjadi kasar, brutal, dan singkat" (solitary, poor, nasty, brutish, and short), tetapi ia juga memperingatkan tentang bahaya dari kekuasaan yang tak terbatas.

Dalam konteks politik Indonesia, Leviathan dapat diartikan sebagai simbol ketidakpastian yang muncul dari kekuatan politik yang berlebihan dan tidak terkendali, terutama ketika politik transaksional menjadi norma dalam pembentukan kabinet. 

Jika kekuasaan politik yang besar ini tidak diimbangi oleh profesionalisme dan meritokrasi, Leviathan bisa menjadi ancaman bagi stabilitas dan efektifitas pemerintahan, menciptakan kondisi di mana keputusan yang diambil lebih untuk kepentingan jangka pendek daripada kesejahteraan jangka panjang.

Kritik Terhadap Politik Kompromi di Akhir Pemerintahan Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir pemerintahan Presiden Jokowi, politik kompromi semakin mendominasi. Untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan dukungan dari partai-partai koalisi, jabatan menteri sering kali diberikan berdasarkan pertimbangan politik daripada keahlian teknis. 

Hal ini mencerminkan politik transaksional yang kian kuat menjelang berakhirnya masa jabatan presiden. Politik kompromi ini, meskipun dapat menjamin stabilitas politik jangka pendek, justru berpotensi mengorbankan kualitas kebijakan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah besar yang dihadapi negara.

Presiden Jokowi kini dihadapkan pada tantangan besar untuk mengakhiri masa jabatannya dengan soft landing. Hal ini menuntut pembentukan kabinet yang berbasis pada meritokrasi dan profesionalisme, bukan semata-mata pada kompromi politik. 

Leviathan yang menjadi bayang-bayang di akhir masa pemerintahannya, harus dihadapi dengan kebijakan yang kuat dan berani untuk memastikan bahwa transisi menuju pemerintahan berikutnya berlangsung mulus, dengan tetap menjaga kesinambungan pembangunan yang telah dicapai.

Jika Presiden Jokowi ingin meninggalkan warisan yang kuat, maka langkah untuk menekan politik transaksional dan mendorong kabinet teknokrat perlu diutamakan. 

Ini bukan hanya soal menjaga stabilitas, tetapi juga memastikan bahwa pemerintahan yang akan datang tidak terjebak dalam siklus politik kompromi yang berisiko melemahkan kinerja pemerintahan.

Konsep Zaken Kabinet memberikan harapan bagi pemerintahan yang lebih efektif dan berfokus pada hasil nyata, terutama di tengah situasi yang menuntut kepemimpinan yang kuat dan berbasis keahlian. 

Namun, bayang-bayang Leviathan sebagai simbol kekuatan politik yang tidak terkendali terus menghantui proses pembentukan kabinet di Indonesia, di mana politik transaksional kerap mendominasi.

Presiden Prabowo memiliki peluang untuk menata ulang komposisi kabinetnya, menjadikan meritokrasi dan profesionalisme sebagai prioritas utama untuk melanjutkan pembangunan yang lebih berkelanjutan. 

Hanya dengan menundukkan Leviathan politik, kita bisa berharap pada transisi kekuasaan yang lebih damai dan produktif, mengarahkan bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun