Zaken Kabinet di Indonesia
Di Indonesia, Zaken Kabinet menjadi relevan ketika pemerintahan membutuhkan stabilitas dan kepemimpinan yang berfokus pada hasil nyata, seperti pada Kabinet Djuanda di akhir 1950-an. Meski demikian, pembentukan kabinet di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir lebih sering dipengaruhi oleh kompromi politik antar partai koalisi.Â
Pembagian jabatan menteri sering kali tidak berdasarkan keahlian teknis, melainkan sebagai bentuk imbalan politik. Hal ini menciptakan tantangan serius dalam upaya menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Leviathan: Simbol Ketidakpastian dan Kekuatan Tak Terkendali
Thomas Hobbes, dalam bukunya Leviathan (1651), menggambarkan Leviathan sebagai metafora untuk kekuatan negara yang luar biasa, yang pada satu sisi diperlukan untuk menciptakan ketertiban, namun pada sisi lain bisa menjadi ancaman jika terlalu besar dan tidak terkendali.Â
Hobbes menulis bahwa tanpa kekuasaan yang kuat, "kehidupan manusia akan menjadi kasar, brutal, dan singkat" (solitary, poor, nasty, brutish, and short), tetapi ia juga memperingatkan tentang bahaya dari kekuasaan yang tak terbatas.
Dalam konteks politik Indonesia, Leviathan dapat diartikan sebagai simbol ketidakpastian yang muncul dari kekuatan politik yang berlebihan dan tidak terkendali, terutama ketika politik transaksional menjadi norma dalam pembentukan kabinet.Â
Jika kekuasaan politik yang besar ini tidak diimbangi oleh profesionalisme dan meritokrasi, Leviathan bisa menjadi ancaman bagi stabilitas dan efektifitas pemerintahan, menciptakan kondisi di mana keputusan yang diambil lebih untuk kepentingan jangka pendek daripada kesejahteraan jangka panjang.
Kritik Terhadap Politik Kompromi di Akhir Pemerintahan Jokowi
Dalam beberapa bulan terakhir pemerintahan Presiden Jokowi, politik kompromi semakin mendominasi. Untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan dukungan dari partai-partai koalisi, jabatan menteri sering kali diberikan berdasarkan pertimbangan politik daripada keahlian teknis.Â
Hal ini mencerminkan politik transaksional yang kian kuat menjelang berakhirnya masa jabatan presiden. Politik kompromi ini, meskipun dapat menjamin stabilitas politik jangka pendek, justru berpotensi mengorbankan kualitas kebijakan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah besar yang dihadapi negara.