Salah satu dilema dalam pemilihan Menteri Pendidikan adalah apakah menteri harus berasal dari partai politik atau dari kalangan profesional independen. Menteri dari partai politik mungkin memiliki akses lebih baik ke jaringan politik dan legislasi, tetapi sering kali terikat oleh kepentingan partai. Sebaliknya, figur profesional yang independen lebih bebas dalam merumuskan kebijakan berdasarkan kepentingan pendidikan, tetapi bisa menghadapi hambatan politik di parlemen.Â
Dalam konteks ini, siapapun yang terpilih harus memiliki komitmen yang kuat terhadap mission sacr pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Seorang Menteri Pendidikan harus mampu menggerakkan seluruh sistem pendidikan dengan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan, pemerataan, dan inovasi.
Mempersiapkan Indonesia Emas 2045, Menteri Pendidikan yang baru harus berani melakukan reformasi mendasar. Mulai dari peningkatan kualitas guru dari saat ini hanya 55% guru yang bersertifikasi profesional hingga mengatasi ketimpangan akses pendidikan antara daerah kaya dan miskin. Pengalokasian anggaran pendidikan yang lebih berkeadilan juga menjadi tantangan besar. Catatan penting saat ini, 60% anggaran APBN pendidikan terserap untuk gaji guru, sementara pengembangan inovasi pendidikan masih jauh dari optimal.
Menteri Pendidikan dengan kepemimpinan kuat tidak hanya perlu menjadi inovator dan eksekutor kebijakan, tetapi juga penggerak perubahan yang mampu membawa transformasi pendidikan yang berdampak luas, memastikan setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H