Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seni, Kebudayaan, dan Pendidikan dalam Dialektika Pemajuan Peradaban

9 Oktober 2024   08:44 Diperbarui: 9 Oktober 2024   09:30 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangsa Sumeria kuno di Mesopotamia merupakan peradaban tertua di dunia, yang berdiri sekitar tahun 4000 SM (sumber: Wikipedia)

Salah satu kritik utama terhadap kebudayaan di era post-truth adalah kecenderungan masyarakat untuk memahami kebudayaan secara dangkal---sekadar dari artefak yang dihasilkan, seperti film, musik, atau mode---tanpa menggali makna yang lebih dalam. Julian Huxley dalam Unesco: Its Purpose and Its Philosophy (1946) menegaskan bahwa memahami kebudayaan hanya sebagai artefak material dapat mengurangi nilai-nilai moral dan spiritual yang mendasari tindakan dan keyakinan manusia. Hal ini mengarah pada kondisi di mana kebudayaan dikonsumsi secara permukaan, dan nilai-nilai yang lebih esensial dalam kebudayaan sering kali diabaikan.

Era digital memperburuk keadaan ini dengan menciptakan lingkungan di mana informasi disebarluaskan dengan sangat cepat, sering kali tanpa adanya refleksi atau pemikiran kritis. Lee McIntyre dalam Post-Truth (2018) menyoroti bahwa era ini ditandai dengan prevalensi bias konfirmasi dan disinformasi, di mana emosi dan keyakinan pribadi sering kali menggantikan fakta. Akibatnya, kebudayaan semakin dikomodifikasi, menjadi alat pemasaran dan hiburan semata, tanpa memperhatikan fungsi mendalamnya sebagai medium refleksi sosial dan pendidikan moral.

Diplomasi Kebudayaan

Seni juga memiliki kekuatan besar dalam diplomasi kebudayaan (culture diplomacy), sebuah pendekatan yang menggunakan seni dan kebudayaan sebagai alat untuk membangun hubungan antarbangsa. Dalam diplomasi budaya, seni digunakan untuk menjembatani perbedaan dan mempererat hubungan antarnegara dengan mempromosikan pengertian, toleransi, dan kolaborasi.

Salah satu contoh terbaik diplomasi seni adalah program pertukaran budaya yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi internasional. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, Amerika Serikat menggunakan seni jazz sebagai alat diplomasi dalam Perang Dingin. Musisi seperti Louis Armstrong dan Duke Ellington melakukan tur ke berbagai negara untuk memperkenalkan jazz sebagai simbol kebebasan dan inovasi Amerika.

Selain itu, dalam era globalisasi saat ini, banyak negara yang menggunakan seni sebagai bagian dari strategi soft power. Festival seni, pameran budaya, hingga program pertukaran seniman menjadi alat penting dalam memperkenalkan kebudayaan suatu bangsa kepada dunia internasional. Seni membantu membangun dialog lintas budaya dan mendorong kerja sama di berbagai bidang, dari ekonomi hingga lingkungan.

Refleksi Renaisans dalam Menghadapi Tantangan Kontemporer

Gerakan Renaisans memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kebangkitan kebudayaan dapat memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan intelektualisme di tengah krisis. Renaisans berhasil menghidupkan kembali nilai-nilai klasik yang mendorong pemikiran rasional dan penghargaan terhadap kebebasan intelektual. Relevansi gerakan ini dalam konteks kontemporer adalah kebutuhannya akan kebangkitan nilai-nilai kebenaran, integritas, dan dialog lintas budaya dalam menghadapi tantangan global.

Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis; ia terus berkembang melalui interaksi manusia dengan lingkungannya. Namun, tantangan di era digital dan post-truth adalah bagaimana kebudayaan tetap dipelihara dan dipahami sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar ekspresi estetika. Pendidikan memiliki peran penting dalam menjaga kesinambungan peradaban ini, memastikan bahwa seni dan kebudayaan tidak hanya dipahami dari sisi artefaknya saja, tetapi juga dari nilai-nilai moral dan gagasan yang lebih dalam.

Seni, kebudayaan, dan pendidikan merupakan fondasi yang mendukung pembangunan dan pemajuan peradaban. Refleksi terhadap gerakan Renaisans menunjukkan bahwa kebangkitan nilai-nilai budaya dapat memperkuat identitas dan menantang status quo melalui pemikiran kritis dan inovasi kreatif. Namun, di era post-truth dan digital, kebudayaan menghadapi ancaman reduksi makna, di mana artefak-artefak kebudayaan dilihat sebagai produk konsumsi belaka tanpa memperhatikan konteks yang lebih dalam.

Sebagaimana disoroti oleh Koentjoroningrat dan Julian Huxley, pemahaman mendalam tentang kebudayaan sebagai sistem gagasan, norma, dan nilai harus dikedepankan melalui pendidikan yang kritis dan reflektif. Seni dan kebudayaan tidak hanya soal keindahan visual atau tren sesaat, tetapi juga merupakan cerminan dari gagasan-gagasan besar yang menopang peradaban. Pendidikan harus memainkan peran utama sebagai transmiter peradaban, memastikan bahwa generasi mendatang memahami dan menghargai kebudayaan dalam seluruh kompleksitasnya, bukan hanya dari permukaannya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun