Seni, Tekstil, dan Fesyen Sebagai Simbolisme dan Ekspresi KebudayaanÂ
Dalam sejarah seni, tekstil dan fesyen telah memainkan peran penting sebagai simbol status, kekuasaan, dan identitas budaya. Anne Hollander dalam Seeing Through Clothes (1978) menyatakan bahwa mode adalah salah satu cara bagi individu untuk mengekspresikan aspirasi sosial dan estetika mereka. Tekstil tradisional sering kali memiliki makna simbolis dan spiritual yang mendalam, seperti batik di Indonesia, yang menyimpan nilai-nilai budaya, sejarah, dan moralitas. Dalam konteks ini, tekstil dan fashion tidak hanya menjadi medium estetika, tetapi juga sebagai ekspresi kebudayaan yang memadukan nilai-nilai tradisi dengan inovasi modern.
Gillian Vogelsang-Eastwood (2010) dalam bukunya "Textiles: A World Tour", menegaskan bahwa tekstil tradisional membawa warisan sejarah yang berakar kuat dalam kebudayaan masyarakat. Tekstil dan fasyen menjadi ruang untuk mengekspresikan identitas, di mana motif-motif tertentu dalam tekstil dapat mencerminkan keyakinan spiritual, status sosial, atau bahkan sikap politik. Dalam konteks modern, seni dalam tekstil dan fashion juga telah menjadi medium bagi kritik sosial, di mana desainer menggunakan karya mereka untuk mengekspresikan pandangan politik dan sosial.
Relevansi Gerakan Renaisans dalam Penguatan Nilai dan Identitas Kebudayaan
Renaisans, yang berarti "kelahiran kembali," adalah salah satu periode penting dalam sejarah kebudayaan yang menandai kebangkitan kembali nilai-nilai klasik Yunani dan Romawi setelah berabad-abad dilupakan selama Abad Pertengahan. Peran gerakan Renaisans sangat relevan dalam menguatkan nilai-nilai dan identitas kebudayaan di masa kini. Renaisans memberikan contoh bagaimana seni dan ilmu pengetahuan dapat saling mendukung untuk membentuk kembali identitas masyarakat, meningkatkan kesadaran kritis, dan memperkuat nilai-nilai humanistik.
Renaisans menjadi kebangkitan seni yang mengajarkan pentingnya pemikiran kritis, kebebasan intelektual, dan pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di masa kini, kita menghadapi tantangan yang serupa: bagaimana membangun identitas kebudayaan yang kuat di tengah arus globalisasi dan disinformasi di era digital. Sebagaimana di masa Renaisans, di era kontemporer ini seni dan pendidikan perlu menjadi pendorong perubahan, dengan mengedepankan nilai-nilai moral dan intelektual yang dapat memperkuat identitas kolektif masyarakat.
Prof. Dr. Koentjoroningrat (1923 - 1999) menyampaikan pandangan bahwa kebudayaan sebagai kompleksitas norma, nilai, dan artefak memberikan perspektif tambahan dalam mengkritisi bagaimana kebudayaan dimaknai secara dangkal dalam konteks kontemporer.
Pendidikan sebagai Transmiter Kebudayaan dan Peradaban
Pendidikan berfungsi sebagai transmiter utama dalam pemajuan peradaban. Melalui pendidikan, generasi penerus dibekali dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan peradaban. Koentjoroningrat, antropolog Indonesia terkemuka, dalam Pengantar Ilmu Antropologi (1985), menyebut bahwa kebudayaan terdiri dari tiga unsur penting: sistem gagasan, aktivitas manusia, dan artefak material. Ketiganya saling berinteraksi dan berkembang melalui proses pewarisan dan pendidikan dari generasi ke generasi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan tidak hanya soal artefak, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai dan norma-norma dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tantangan yang muncul dalam era post-truth dan digital adalah terjadinya reduksi kebudayaan menjadi sekadar kumpulan artefak dan ekspresi estetika, tanpa pemahaman mendalam tentang nilai-nilai yang melandasinya. Pendidikan berperan penting dalam memastikan bahwa kebudayaan dipahami sebagai sistem gagasan yang lebih komprehensif, dan bukan hanya dilihat dari manifestasi fisiknya.
Kritik Kebudayaan di Era Post-Truth dan Era Digital