Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Patologi Demokrasi Diakhir Pemerintahan Jokowi

31 Agustus 2024   19:16 Diperbarui: 31 Agustus 2024   19:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com / FITRI RACHMAWATI)

Seiring mendekatnya akhir masa jabatan Presiden Jokowi, banyak yang mulai mengkritisi warisan yang akan ditinggalkan oleh pemimpin yang telah dua periode memimpin Indonesia. 

Di satu sisi, Jokowi dikenal sebagai sosok yang berhasil mendorong pembangunan infrastruktur dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, pemerintahannya juga menghadapi sejumlah kritik, khususnya terkait dengan kondisi demokrasi di Indonesia yang dinilai mengalami kemunduran. Kompleksitas permasalahan yang muncul di Indonesia seperti konflik sosial, dan korupsi merupakan gejala yang menunjukkan keadaan bahwa demokrasi kita sedang sakit. 

Demokrasi yang sedang sakit, pasti disebabkan oleh penyakit demokrasi. Analogi penyakit demokrasi dalam berbagai paradox demokrasi memunculkan konsep "Patologi Demokrasi". Kata patologi berasal dari kata Yunani "pathos", yang berarti "penderitaan", dan "--logia", yang berarti "studi tentang". Arti harafiah Patologi adalah studi tentang sebab dan akibat penderitaan dari sebuah penyakit termasuk kelainan struktural yang disebabkan oleh penyakit tersebut untuk keperluan diagnostik atau forensik. Patologi Demokrasi bisa kita maknai sebagai suatu studi tentang sebab dan akibat munculnya permasalahan demokrasi termasuk kelainan yang muncul sehingga banyak menimbulkan penderitaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.  

Salah satu gejala sakitnya demokrasi kita adalah bahwa kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat melalui sistem pemilihan umum (pemilu) sering dianggap hanya sebagai legitimasi kekuatan politik absolut. Demokrasi tampak berjalan, tetapi sebenarnya mengalami pelemahan sistemik. Kondisi pelemahan demokrasi secara sistemik ini bisa menjadi ancaman serius terhadap matinya demokrasi. Kematian demokrasi bisa dilihat dari munculnya perilaku otoriter penguasa, seperti ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dari Universitas Harvard dalam bukunya "How Democracies Die" (2018), yang menjabarkan empat Indikator perilaku otoriter :

1. Penolakan (atau komitmen lemah terhadap) aturan main yang demokratis.
2. Penyangkalan legitimasi lawan politik
3. Toleransi atau dorongan terhadap kekerasan.
4. Kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Beberapa catatan pelemahan sistemik demokrasi antara lain :

1. Konsolidasi Kekuasaan dan Melemahnya Oposisi
Salah satu ciri utama dari patologi demokrasi yang terlihat dalam pemerintahan Jokowi adalah konsolidasi kekuasaan yang semakin terpusat. Hal ini tampak dari pembentukan koalisi besar yang mencakup hampir seluruh partai politik besar, meninggalkan oposisi yang sangat lemah. Akibatnya, sistem checks and balances yang menjadi pilar penting dalam demokrasi modern menjadi tidak efektif. Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah cenderung kurang mendapat tantangan dalam setiap kebijakannya, yang pada akhirnya dapat berdampak buruk pada kualitas pengambilan keputusan.

2. Regulasi yang Membungkam Kritik
Patologi demokrasi juga terlihat dalam penggunaan regulasi untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sering kali menjadi instrumen untuk menekan suara-suara kritis, termasuk aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil. Alih-alih menjadi ruang publik yang bebas, internet dan media sosial justru menjadi medan pertempuran di mana kritik terhadap pemerintah sering kali berujung pada penangkapan atau kriminalisasi.

3. Pengaburan Batas Antara Negara dan Korporasi
Fenomena lain yang mengindikasikan adanya patologi demokrasi adalah semakin kaburnya batas antara kepentingan negara dan korporasi. Kebijakan pemerintah yang cenderung pro-korporasi, seperti pengesahan UU Cipta Kerja, menunjukkan bagaimana kekuasaan eksekutif lebih mengutamakan kepentingan bisnis besar dibandingkan dengan perlindungan terhadap buruh dan lingkungan. Ini menjadi indikasi bahwa kekuasaan politik tidak lagi berfungsi sebagai pelindung kepentingan rakyat, melainkan lebih menjadi fasilitator bagi kepentingan modal.

4. Demokrasi Prosedural Nir Substansi
Di bawah pemerintahan Jokowi, demokrasi Indonesia tampak bergerak menuju apa yang disebut sebagai "demokrasi prosedural", di mana elemen-elemen formal demokrasi seperti pemilihan umum tetap berlangsung, tetapi substansi demokrasi yakni perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan keterlibatan masyarakat semakin terabaikan. Kegagalan dalam memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi masyarakat, serta kecenderungan untuk memusatkan kekuasaan pada elit politik, membuat demokrasi Indonesia kehilangan esensinya.

Patologi demokrasi diakhir masa pemerintahan Jokowi merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan dan praktik yang secara bertahap melemahkan pilar-pilar demokrasi. Di tengah segala pencapaian yang telah diraih, tantangan terbesar bagi pemerintahan yang akan datang adalah bagaimana memulihkan demokrasi Indonesia dari berbagai patologi ini dan memastikan bahwa kekuasaan kembali berada di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir elit. Tanpa upaya serius untuk melakukan reformasi, demokrasi Indonesia berisiko terus terperangkap dalam dinamika yang merugikan rakyat dan memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada.

Kenneth Minogue (2013)  meneliti keberadaan dan perkembangan demokrasi barat, menyebutkan bahwa rendahnya kecerdasan mentalitas kolektif yang dia sebut sebagai "pikiran budak" telah berkontribusi dalam merendahkan substansi demokrasi. Salah satu kritik cukup pedas adalah pernyataan Minogue dalam bukunya "A Pathology of Democracy", menyebutkan : "Sebuah aliran realisme yang terus-menerus terjadi dalam sebuah sistem demokrasi menunjukkan gejala bahwa setiap sistem demokrasi pada akhirnya adalah oligarki kekuasaan. Para pejabat dan politisi, sebagai pengontrol agenda dan retorika dalam diskusi publik, benar-benar menentukan apa yang terjadi.

Demokrasi prosedural yang hanya berpusat pada proses politik elektoral sebagai dasar legitimasi demokrasi, seringkali dikontraskan dengan demokrasi substantif atau partisipatoris, yang memusatkan partisipasi dari semua kelompok masyarakat untuk terlibat dalam proses politik sebagai dasar legitimasi, sebagaimana ditulis oleh Kaldor Mary (27 Mei 2014) dalam sebuah paper "Democracy in Europe After The Elections".  

Alih-alih menguatkan demokrasi Pancasila sebagai sebuah demokrasi yang bermartabat, sebagian besar para politisi di Indonesia terkesan justru mengesampingkan prinsip kejujuran dan keadilan. Politik elektoral dianggap sebagai pusat dari demokrasi, sehingga sering justru mencederai substansi demokrasi yang intinya adalah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat perlu diwujudkan dalam partisipasi aktif untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan. Politik elektoral semestinya hanya merupakan pintu masuk dan cara menentukan pendapat dalam demokrasi serta seharusnya berada dalam dimensi politik kebangsaan. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun