Salah satu ciri utama dari patologi demokrasi yang terlihat dalam pemerintahan Jokowi adalah konsolidasi kekuasaan yang semakin terpusat. Hal ini tampak dari pembentukan koalisi besar yang mencakup hampir seluruh partai politik besar, meninggalkan oposisi yang sangat lemah.
Akibatnya, sistem checks and balances yang menjadi pilar penting dalam demokrasi modern menjadi tidak efektif. Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah cenderung kurang mendapat tantangan dalam setiap kebijakannya, yang pada akhirnya dapat berdampak buruk pada kualitas pengambilan keputusan.
2. Regulasi yang Membungkam Kritik
Patologi demokrasi juga terlihat dalam penggunaan regulasi untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sering kali menjadi instrumen untuk menekan suara-suara kritis, termasuk aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil. Alih-alih menjadi ruang publik yang bebas, internet dan media sosial justru menjadi medan pertempuran di mana kritik terhadap pemerintah sering kali berujung pada penangkapan atau kriminalisasi.
3. Pengaburan Batas Antara Negara dan Korporasi
Fenomena lain yang mengindikasikan adanya patologi demokrasi adalah semakin kaburnya batas antara kepentingan negara dan korporasi. Kebijakan pemerintah yang cenderung pro-korporasi, seperti pengesahan UU Cipta Kerja, menunjukkan bagaimana kekuasaan eksekutif lebih mengutamakan kepentingan bisnis besar dibandingkan dengan perlindungan terhadap buruh dan lingkungan.
Ini menjadi indikasi bahwa kekuasaan politik tidak lagi berfungsi sebagai pelindung kepentingan rakyat, melainkan lebih menjadi fasilitator bagi kepentingan modal.
4. Demokrasi Prosedural Nir Substansi
Di bawah pemerintahan Jokowi, demokrasi Indonesia tampak bergerak menuju apa yang disebut sebagai "demokrasi prosedural", di mana elemen-elemen formal demokrasi seperti pemilihan umum tetap berlangsung, tetapi substansi demokrasi yakni perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan keterlibatan masyarakat semakin terabaikan.
Kegagalan dalam memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi masyarakat, serta kecenderungan untuk memusatkan kekuasaan pada elit politik, membuat demokrasi Indonesia kehilangan esensinya.
Patologi demokrasi di akhir masa pemerintahan Jokowi merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan dan praktik yang secara bertahap melemahkan pilar-pilar demokrasi.