Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Jangan Panggil Saya Prof"

21 Juli 2024   12:02 Diperbarui: 21 Juli 2024   14:07 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini terinspirasi dari seorang kawan rektor suatu perguruan tinggi swasta tertua di Yogyakarta, beliau menuliskan pesan berupa kalimat singkat dan penuh makna di dinding media sosialnya : "Mohon, jangan panggil saya dengan sebutan Prof". Saya dengan penuh rasa hormat atas sikap beliau segera mengirimkan pesan penuh apresiasi. Kami berbalas pesan melalui sebuah platform percakapan, dan beliau menyampaikan bahwa tindakan beliau sebagai upaya desakralisasi jabatan guru besar yang kita beri gelar profesor.  

Pada masa dinasti Tudor memerintah Inggris (1485 - 1603), masyarakat akademik mengenal 3 istilah yang umum digunakan untuk tenaga pendidik di universitas yakni dosen, pembaca, dan profesor.

Saat itu raja Henry VIII (1540-an), mengenalkan lima jabatan profesor yakni profesor untuk religiusitas di bidang ketuhanan, profesor hukum sipil, profesor kedokteran, profesor Ibrani, dan profesor Yunani. Sejak saat itu, para guru senior di Eropa mulai lebih sering disebut sebagai profesor.

Namun saat ini, terjadi salah kaprah atas sebutan profesor. Kuatnya salah kaprah gelar profesor di masyarakat Indonesia ini, lantas ditangkap oleh banyak elit politik dan dimanfaatkan sebagai instrumen politik praktis untuk mengukuhkan ketokohan mereka. Para elit politik itu beranggapan bahwa gelar profesor akan menguatkan legitimasi politik mereka.

Banyak oknum elit politik yang bahkan berlomba mendapatkan gelar akademik doktor secara mudah dan instan. Situasi demikian tentu sangat disayangkan, memprihatinkan dan membutuhkan upaya serius untuk perbaikan segera. Hegemoni politik sudah memasuki ruang kedaulatan akademik yang tergadaikan oleh materi dalam berbagai bentuk.

Dalam tingkat ini, ada dua kelompok yang mestinya sadar dan lantas bertobat untuk  memperbaikinya. Dua kelompok  yang harus bertobat terkait pemberian gelar akademik instan adalah kelompok oknum elit politik dan kelompok oknum perguruan tinggi, mereka harus diingatkan bahwa perilaku demikian bertentangan dengan salah satu tujuan bernegara yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Mendapatkan gelar akademik dengan cara instan merupakan tindakan membodohi kehidupan bangsa.

Gelar akademik sering kali dianggap sebagai simbol prestasi dan kehormatan. Profesor sejatinya bukan merupakan gelar akademik, melainkan sebuah jabatan. Dalam masyarakat, seseorang yang menyandang gelar "Profesor" biasanya dihormati dan dianggap sebagai sumber pengetahuan dan kebijaksanaan.

Banyak yang mengkultuskan diri dengan atribusi berbagai gelar termasuk gelar profesor. Gelar profesor di Indonesia adalah simbol prestasi akademik tertinggi, yang menunjukkan keahlian, dedikasi, dan kontribusi signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan atau seni.

Namun, akhir-akhir ini, muncul kekhawatiran dan kontroversi mengenai mudahnya mendapatkan gelar profesor di Indonesia. Kritik ini mencakup aspek prosedural, kualitas, dan integritas dalam proses pemberian gelar.

Salah satu kritik utama adalah adanya prosedur yang dianggap terlalu longgar dalam pemberian gelar profesor. Beberapa pihak menilai bahwa persyaratan untuk menjadi profesor, seperti jumlah publikasi ilmiah, pengalaman mengajar, dan kontribusi pada penelitian, tidak selalu diterapkan secara konsisten. Ada kasus di mana calon profesor berhasil mendapatkan gelar meskipun tidak memenuhi semua kriteria yang seharusnya.

Prosedur yang tidak konsisten ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan akademisi yang merasa bahwa standar penilaian telah menurun. Mereka khawatir bahwa hal ini akan merusak reputasi akademik Indonesia di mata internasional, karena gelar profesor yang diberikan mungkin tidak mencerminkan kualitas yang sebenarnya.

Namun, bagi sebagian orang, gelar profesor bukanlah sekadar penghargaan, melainkan beban dan tanggung jawab yang besar. Beberapa orang yang menyandang gelar Profesor lebih memilih untuk tidak dipanggil dengan sebutan tersebut.

Kerendahan hati adalah salah satu alasan utama mengapa beberapa profesor lebih memilih untuk tidak dipanggil dengan gelar mereka. Bagi mereka, pencapaian akademis bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan atau dijadikan alat untuk memperoleh status sosial.

Sebaliknya, mereka melihat gelar tersebut sebagai alat untuk melayani orang lain dan berkontribusi pada masyarakat. Profesor yang rendah hati percaya bahwa prestasi akademis mereka adalah hasil kerja keras, dan dukungan dari banyak pihak.

Mereka merasa bahwa menonjolkan gelar mereka hanya akan menambah jarak antara mereka dan orang-orang yang mereka layani. Dengan memilih untuk dipanggil dengan nama depan mereka, mereka berharap dapat menciptakan hubungan yang lebih dekat dan manusiawi dengan orang lain.

Dalam dunia akademik, kolaborasi dan kerja tim sangat penting. Beberapa profesor percaya bahwa penekanan pada gelar dan jabatan dapat menciptakan hierarki yang kaku dan menghambat kolaborasi yang efektif. Dengan menghilangkan formalitas, mereka berharap dapat membangun lingkungan kerja yang egaliter dan inklusif.

Profesor yang lebih suka dipanggil dengan nama depan mereka ingin menciptakan suasana di mana setiap orang merasa dihargai dan didengar. Mereka percaya bahwa ide-ide terbaik sering kali muncul dari diskusi yang terbuka dan jujur, di mana semua peserta merasa nyaman untuk berbagi pandangan mereka tanpa takut akan kritik atau penghakiman. Dengan menolak dipanggil "Profesor", mereka berusaha untuk menghilangkan hambatan yang mungkin menghalangi kolaborasi yang produktif.

Hierarki yang ketat dalam lingkungan akademik bisa menghambat kreativitas dan inovasi. Beberapa profesor merasa bahwa penekanan pada gelar dan jabatan dapat menciptakan jarak antara mereka dan orang lain, baik itu mahasiswa, kolega, atau anggota masyarakat. Dengan menolak dipanggil "Profesor", mereka ingin menekankan bahwa setiap orang memiliki kontribusi yang berharga, terlepas dari titel atau posisi mereka.

Dalam pandangan mereka, gelar akademik tidak seharusnya menjadi penghalang untuk berinteraksi secara setara dan terbuka. Mereka ingin menciptakan lingkungan di mana ide-ide dapat dipertukarkan secara bebas, tanpa terhalang oleh perbedaan status atau posisi.

Dengan demikian, mereka berharap dapat mendorong inovasi dan kreativitas yang lebih besar dalam pekerjaan mereka.

Tantangan Stereotip

Gelar "Profesor" sering kali dikaitkan dengan stereotip tertentu, seperti dianggap terlalu serius, bijaksana, atau tidak bisa salah. Prinsip egalitarian bisa mendukung desakralisasi gelar serta melemahkan stereotip tersebut.

Beberapa orang yang menyandang gelar ingin menghindari stereotip tersebut dan menunjukkan bahwa mereka juga manusia biasa dengan kekurangan dan keterbatasan. Mereka yang memiliki prinsip tersebut berharap dapat menjalin hubungan yang lebih manusiawi dan autentik dengan orang lain.

Bagi sebagian orang, gelar akademik adalah bagian dari identitas profesional mereka, tetapi bukan keseluruhan identitas pribadi mereka. Mereka mungkin merasa bahwa ada lebih banyak aspek dalam diri mereka yang ingin diakui dan dihargai.

Dengan memilih untuk tidak dipanggil "Profesor", mereka berharap orang lain dapat melihat mereka sebagai individu dengan berbagai minat dan peran.

Mereka ingin dikenal bukan hanya sebagai akademisi, tetapi juga sebagai manusia dengan kehidupan dan pengalaman yang beragam. Mereka mungkin memiliki minat dalam seni, olahraga, atau kegiatan sosial yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan akademis mereka.

Dengan menghindari penekanan pada gelar akademik mereka, mereka berharap dapat menunjukkan sisi-sisi lain dari diri mereka yang mungkin tidak terlihat dalam konteks profesional.

Seputar Regulasi tentang Profesor

Indonesia memiliki 3 undang-undang yang mengatur tentang gelar profesor yaitu UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Pasal 1 angka 3 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengatur bahwa Guru Besar atau yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Pasal 48 ayat 2 UU Guru dan Dosen juga mengatur lebih spesifik bahwa jenjang jabatan akademik dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Rumusan yang persis sama juga diatur dalam Pasal 72 ayat 1 UU Pendidikan Tinggi.

Aturan lebih teknis lagi terdapat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) No.17 Tahun 2013 jo Permenpan-RB No.46 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya jo Permenpan-RB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Inti peraturan - peraturan tersebut menegaskan bahwa jabatan fungsional dosen dan jabatan akademik dosen adalah hal yang sama.

Memilih tidak Dipanggil Prof

Profesor yang memilih untuk tidak dipanggil dengan gelar, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga memiliki kelemahan dan kesalahan. Mereka ingin mendorong orang lain untuk melihat mereka sebagai individu yang terus belajar dan berkembang, bukan sebagai figur otoritas yang tidak bisa dipertanyakan. Mereka berharap dapat menciptakan hubungan yang lebih terbuka dan jujur dengan orang lain.

Pada akhirnya, keputusan untuk menolak dipanggil dengan gelar "Profesor" adalah pilihan pribadi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Apapun alasannya, yang terpenting adalah menghormati pilihan tersebut dan melihat individu di balik gelar, dengan segala keunikan dan kontribusinya. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, mungkin sudah saatnya kita lebih menekankan pada kolaborasi dan kesetaraan daripada hierarki dan formalitas.

Dengan menghilangkan penekanan pada gelar dan jabatan, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung inovasi. Kita dapat mendorong setiap individu untuk berkontribusi dengan cara mereka sendiri, tanpa terhalang oleh perbedaan status atau posisi. Pada akhirnya, hal ini akan menguntungkan semua pihak, karena ide-ide terbaik sering kali muncul dari diskusi yang terbuka dan jujur, di mana setiap orang merasa dihargai dan didengar.

Jadi, ketika seorang Profesor meminta anda untuk tidak memanggilnya dengan gelarnya, ingatlah bahwa ini bukan berarti mereka tidak menghargai pencapaian akademis mereka. Sebaliknya, ini adalah tanda kerendahan hati, keinginan untuk berkolaborasi, dan usaha untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan egaliter. Hormatilah pilihan mereka, dan lihatlah mereka sebagai individu yang penuh dengan keunikan dan kontribusi yang berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun