Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Jangan Panggil Saya Prof"

21 Juli 2024   12:02 Diperbarui: 21 Juli 2024   14:07 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: KOMPAS.id)

Tantangan Stereotip

Gelar "Profesor" sering kali dikaitkan dengan stereotip tertentu, seperti dianggap terlalu serius, bijaksana, atau tidak bisa salah. Prinsip egalitarian bisa mendukung desakralisasi gelar serta melemahkan stereotip tersebut.

Beberapa orang yang menyandang gelar ingin menghindari stereotip tersebut dan menunjukkan bahwa mereka juga manusia biasa dengan kekurangan dan keterbatasan. Mereka yang memiliki prinsip tersebut berharap dapat menjalin hubungan yang lebih manusiawi dan autentik dengan orang lain.

Bagi sebagian orang, gelar akademik adalah bagian dari identitas profesional mereka, tetapi bukan keseluruhan identitas pribadi mereka. Mereka mungkin merasa bahwa ada lebih banyak aspek dalam diri mereka yang ingin diakui dan dihargai.

Dengan memilih untuk tidak dipanggil "Profesor", mereka berharap orang lain dapat melihat mereka sebagai individu dengan berbagai minat dan peran.

Mereka ingin dikenal bukan hanya sebagai akademisi, tetapi juga sebagai manusia dengan kehidupan dan pengalaman yang beragam. Mereka mungkin memiliki minat dalam seni, olahraga, atau kegiatan sosial yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan akademis mereka.

Dengan menghindari penekanan pada gelar akademik mereka, mereka berharap dapat menunjukkan sisi-sisi lain dari diri mereka yang mungkin tidak terlihat dalam konteks profesional.

Seputar Regulasi tentang Profesor

Indonesia memiliki 3 undang-undang yang mengatur tentang gelar profesor yaitu UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Pasal 1 angka 3 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengatur bahwa Guru Besar atau yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Pasal 48 ayat 2 UU Guru dan Dosen juga mengatur lebih spesifik bahwa jenjang jabatan akademik dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Rumusan yang persis sama juga diatur dalam Pasal 72 ayat 1 UU Pendidikan Tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun