Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Merdeka & Merdeka Belajar

2 Mei 2024   21:33 Diperbarui: 2 Mei 2024   21:42 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://jdih.sukoharjokab.go.id/berita/detail/kemiskinan-di-indonesia-yang-tak-kunjung-usai

Ki Hadjar Dewantara dan Engku Syafei mencetuskan Merdeka Belajar untuk melawan kebodohan dan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.

Jiwa Merdeka Belajar ini terinspirasi oleh pemikiran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan negara yang diamanatkan oleh konstitusi.

Tujuan negara Indonesia seperti tertulis dalam alinea ke-4 pembukaan UUD'45 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sudahkah kita benar-benar merdeka secara jiwa dan raga sebagai bangsa Indonesia?

Penilaian peringkat PISA tahun 2019 menunjukkan prestasi pendidikan di Indonesia yang berada di urutan 74 dari 79 negara. Menyikapi kondisi tersebut, Nadiem membuat kebijakan "Merdeka Belajar" di tahun 2020.

Kebijakan Kemendikbudristek "Merdeka Belajar" ini, seharusnya tidak boleh lepas dari konteks sejarahnya, dan bukan pula hanya sebagai "Gimik Kebijakan Pendidikan". 

Sisi lain munculnya "Merdeka Belajar" di tahun 2020, memunculkan polemik merek dagang atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dimiliki oleh Sekolah Cikal sejak 2015. Sekolah Cikal akhirnya menghibahkan "Merdeka Belajar" kepada Kemendikbudristek agar dapat digunakan bersama untuk dunia pendidikan dan sesuai aturan yang berlaku, mulai 14 Agustus 2020.

Sudahkah Merdeka Belajar terwujud? 

Kita jangan-jangan masih belajar merdeka, saat pemerintah menawarkan bantuan sosial, maka banyak orang berpendidikan berebut untuk mendapatkannya.

Kita jangan-jangan masih belajar merdeka, ketika di depan mata etika dipermainkan oleh penguasa tanpa seorangpun berdaya. 

Kita jangan-jangan masih belajar merdeka, jika tidak ada petugas kebersihan maka banyak orang mengabaikan kebersihan lingkungannya tanpa disiplin membuang pada tempat sampah semestinya. 

Kita jangan-jangan masih belajar merdeka, manakala para cerdik pandai menggadaikan kekayaan alam dan tidak memiliki kedaulatan atas tanah air kita.

Figur kontroversial Nadiem Makarim banyak dianggap tidak akan mampu menangani urusan pendidikan dan kebudayaan, bukan karena soal kompetensi manajerial dan kapasitas berpikirnya tetapi lebih karena kapasitas kepemimpinannya. Pemimpin yang baik biasanya secara alamiah muncul dari ekosistem di mana dia berada. Pemimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harusnya berakar mendalam dan memahami sejarah Pendidikan dan Kebudayaan di Indonesia. Tansformasi Pendidikan dan Kebudayaan dengan pemimpin yang ahistoris akan mengalami masalah besar jika diletakkan pada fondasi salah.

Transformasi Pendidikan menuju arah kemajuan harus dijiwai dengan semangat dan moral yang benar agar tidak salah arah. Konsep Pemajuan Pendidikan masa depan juga harus koheren dengan konsep Pemajuan Kebudayaan. Konsep Pendidikan yang holistik dengan konsep Kebudayaan perlu dipahami dengan baik dan benar dimana pendidikan merupakan transmisi peradaban masa depan.  Strategi pendidikan dan strategi kebudayaan harus terintegrasi dengan moral Pancasila.

Pidato awal pelantikan yang menyebutkan jika menteri Nadiem tidak mengetahui masa lalu, namun mengetahui masa depan, mungkin dianggap biasa-biasa saja bagi sebagian orang. Namun, kutipan pidato tersebut juga menyiratkan realitas strategi personal seorang menteri yang dari satu sisi akan melepaskan tuntutan untuk memahami sejarah, dan sisi lainnya menggantikan kelemahannya tersebut  dengan klaim penguasaan masa depan (pendidikan).

Berpikir Seperti Seorang Futuris

Apakah klaim pemimpin Kemendikbud yang menguasai masa depan sudah menunjukkan cara berpikir seorang futuris baik? Cecily Sommers (2012), menyatakan bahwa berpikir seperti seorang futuris adalah berpikir di luar kotak dan dengan sadar memperluas cakrawala pemikiran untuk membayangkan ide dan peristiwa yang belum terjadi.

Pemikir futuris mengarahkan kegiatan di masa depan yang dirancang untuk memicu pencerahan kreatif, mendorong perubahan hal di masa lalu yang kurang baik, serta membawa kekuatan pandangan ke depan melalui strategi dan inovasi untuk menghasilkan jawaban baru atas berbagai permasalahan. Seorang pemikir futuris juga mampu melepaskan diri dari  jebakan pengetahuan yang sudah membentuk pola pikir masa kini yang permanen "permanent present".  

Seorang futuris mempelajari tren jangka panjang dari perspektif global, mengidentifikasi implikasinya bagi dunia bisnis dan masyarakat. Pemimpin futuris juga mampu menciptakan prakiraan agenda kebijakan masa depan, dan secara spekulatif memberi gambaran tentang bagaimana pekerjaan, pendidikan, ekonomi, kesehatan akan berubah.  Peran seorang pemimpin dalam kepemimpinannya memang harus mampu mengatasi masa depan dan memiliki visi yang kuat serta menginspirasi orang lain untuk bergabung mendukung mewujudkannya.

Mencermati karakter berpikir futuris diatas, maka memang benarlah klaim menteri sebagai figur pemimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mungkin mengetahui masa depan. Namun demikian, fungsi seorang pemimpin futuris tidak hanya berhenti dalam pemikiran futuristik. Hal itu juga tersirat dalam buku "Think Like a Futurist: Know What Changes, What Doesn't, and What's Next" karya Cecily Sommers.

Pemimpin futuris yang baik di tingkat kementerian, harus mampu dan bisa menunjukkan dua karakter yaitu karakter kenegarawan (statesmanship) serta karakter kebijaksanaan yang memadukan kemampuan birokrasi, dan teknokrasi. Menteri juga harus memiliki craftsmanship dalam melakukan dan membangun tata pemerintahan yang baik pada kementeriannya.

Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2024 yaitu "Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar" dan sekaligus mencanangkan bulan Mei 2024 sebagai Bulan Merdeka Belajar. 

Pendidikan dianggap gagal jika tidak bisa memerdekakan manusia dalam arti seluas-luasnya. 

Pendidikan dianggap gagal jika manusia terdidik tidak bisa memuliakan kemanusiaan atas manusia yang lainnya.

Permasalahan pendidikan bisa dilihat jika output pendidikan tidak menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat terdidiknya. Salah satu permasalahan kronis lainnya dalam dunia pendidikan kita adalah, adanya pemahaman yang keliru bahwa "kehebatan manusia" melalui pendidikan seolah disebabkan oleh karena kemampuan nalar otak saja. Hal tersebut sudah memasuki alam bawah sadar sebagian masyarakat kita, termasuk insan pendidikan yang bahkan enggan membedakan perihal pengajaran dan pendidikan. Keberhasilan pendidikan sering dinilai dari output kemampuan kerja otak yang diukur secara kuantitatif saja. Sementara itu, hal terkait dengan kualitas moral subyek didik dan para pendidik sering terabaikan. Prof. Gunawan Santosa (2020) menyatakan bahwa realitas kehebatan manusia di alam semesta ini bukan semata karena otaknya, tetapi karena hatinya. 

Pengaruh pemikiran positivistik bahwa kehebatan kerja otak manusia seolah mampu menyelesaikan semua masalah, akan menyesatkan kita untuk membentuk manusia sejati yang berakal budi mulia. Monyet juga punya otak, dan induk monyet belum pernah dilaporkan ada yang gagal memonyetkan secara sejati anak monyetnya. 

Hal mementingkan obyektivitas nalar ini merupakan salah satu pengaruh dari aliran filsafat positivisme dengan tokohnya  Auguste Komte (1798-1857), seorang sarjana matematika dan fisika asal Perancis. Ia menuliskan buku tentang kajian fenomena sosial melalui metode empiris, yang kemudian dalam perkembangannya disebut sebagai aliran filsafat positivisme. Jika pengetahuan melampaui obyektivitas dan masuk menembus batas subyektifitas, maka informasi seperti itu tidak memenuhi syarat sebagai pengetahuan. 

Thesis aliran filsafat positivisme ini tidak lama kemudian mendapat penolakan. Karl Raimund Popper (1902 - 1994), seorang filsuf Inggris dikenal karena penolakannya terhadap pandangan induktivis klasik tentang metode ilmiah yang mendukung falsifikasi empiris. Pandangan ini kemudian menjadi aliran filsafat Post-positivisme yang berkembang pada abad ke-20. Pandangan ini bukan sekadar merevisi positivisme, tetapi merupakan penolakan total terhadap nilai-nilai inti positivisme. .

Pendidikan dalam pandangan post-positivisme bukan hanya merupakan proses menemukan fakta atas pertanyaan ilmiah melalui kajian empiris dan obyektivitas penalaran, namun juga harus melibatkan faktor sosial dalam dinamika subyektivitas. Prof. PM. Laksono (2020) mengingatkan pentingnya memahami rumusan tujuan Pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang memuat peraturan tentang pendidikan dan pengajaran disekolah sebagai arah tujuan pendidikan secara jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 pasal 3 dicantumkan bahwa "Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang tjakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan masjarakat dan tanah air." Dalam perjalanan waktu, rumusan tujuan pendidikan kita yang dulu sangat jelas, kini semakin absurd dan bias kepentingan kekuasaan. Membangun karakter manusia susila yang cakap merupakan tujuan proses pendidikan bertumpu pada olah akal dan hati.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 mengingatkan kepada kita bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. 

Pendidikan semestinya menghasilkan manusia yang cerdas dan mulia, berkemampuan penalaran maju, dengan moralitas terpuji penuh ketulusan. Namun ironis jika proses pendidikan yang semestinya penuh dengan ajaran moral dan nilai sosial yang luhur harus dicederai dengan kebijakan ataupun implementasi program pendidikan yang kurang berkeadilan dan berkeadaban. Sementara itu, mungkin masih ada tindakan ataupun sikap tidak terpuji oknum insan pendidikan dan pengajaran yang tidak mencerminkan keluhuran budi pekerti. Salah satunya adalah tindakan komersialisasi pendidikan secara berlebihan sebagai bisnis yang menjanjikan, sering meninggalkan atau mengabaikan tanggung jawab dan nilai moral.

Dalam upaya menguatkan akuntabilitas pendidikan di Indonesia, maka partisipasi publik perlu kita revitalisasi. Partisipasi publik memberi kesempatan kepada para pemangku kepentingan untuk mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Partisipasi publik bermakna bahwa publik proaktif berkontribusi untuk mempengaruhi keputusan.

Prinsip partisipasi publik menyatakan bahwa mereka yang terkena dampak keputusan memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Publik terdiri dari berbagai pemangku kepentingan yang memiliki berbagai pandangan dan perhatian terhadap suatu masalah.  

Spektrum kepentingan pemangku kepentingan publik yang luas, menghasilkan berbagai pandangan, harapan dan kekhawatiran. Proses partisipasi publik yang baik akan memberikan keadilan dan kualitas layanan publik prima dengan keterlibatan yang berarti dari berbagai pemangku kepentingan. Tidak semua partisipasi masyarakat sama, jenis dan derajat partisipasinya. Mobilisasi publik adalah salah satu contoh derajat partisipasi paling rendah. Partisipasi publik yang baik bermakna pelibatan para pemangku kepentingan dalam memberikan masukan pada titik-titik tertentu dalam proses pengambilan keputusan dan pada isu-isu spesifik di mana masukan tersebut memiliki potensi nyata untuk membantu membuat kebijakan publik sebagai solusi atas kebutuhan dan kepentingan bersama. (TA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun