Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Merdeka & Merdeka Belajar

2 Mei 2024   21:33 Diperbarui: 2 Mei 2024   21:42 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://jdih.sukoharjokab.go.id/berita/detail/kemiskinan-di-indonesia-yang-tak-kunjung-usai

Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2024 yaitu "Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar" dan sekaligus mencanangkan bulan Mei 2024 sebagai Bulan Merdeka Belajar. 

Pendidikan dianggap gagal jika tidak bisa memerdekakan manusia dalam arti seluas-luasnya. 

Pendidikan dianggap gagal jika manusia terdidik tidak bisa memuliakan kemanusiaan atas manusia yang lainnya.

Permasalahan pendidikan bisa dilihat jika output pendidikan tidak menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat terdidiknya. Salah satu permasalahan kronis lainnya dalam dunia pendidikan kita adalah, adanya pemahaman yang keliru bahwa "kehebatan manusia" melalui pendidikan seolah disebabkan oleh karena kemampuan nalar otak saja. Hal tersebut sudah memasuki alam bawah sadar sebagian masyarakat kita, termasuk insan pendidikan yang bahkan enggan membedakan perihal pengajaran dan pendidikan. Keberhasilan pendidikan sering dinilai dari output kemampuan kerja otak yang diukur secara kuantitatif saja. Sementara itu, hal terkait dengan kualitas moral subyek didik dan para pendidik sering terabaikan. Prof. Gunawan Santosa (2020) menyatakan bahwa realitas kehebatan manusia di alam semesta ini bukan semata karena otaknya, tetapi karena hatinya. 

Pengaruh pemikiran positivistik bahwa kehebatan kerja otak manusia seolah mampu menyelesaikan semua masalah, akan menyesatkan kita untuk membentuk manusia sejati yang berakal budi mulia. Monyet juga punya otak, dan induk monyet belum pernah dilaporkan ada yang gagal memonyetkan secara sejati anak monyetnya. 

Hal mementingkan obyektivitas nalar ini merupakan salah satu pengaruh dari aliran filsafat positivisme dengan tokohnya  Auguste Komte (1798-1857), seorang sarjana matematika dan fisika asal Perancis. Ia menuliskan buku tentang kajian fenomena sosial melalui metode empiris, yang kemudian dalam perkembangannya disebut sebagai aliran filsafat positivisme. Jika pengetahuan melampaui obyektivitas dan masuk menembus batas subyektifitas, maka informasi seperti itu tidak memenuhi syarat sebagai pengetahuan. 

Thesis aliran filsafat positivisme ini tidak lama kemudian mendapat penolakan. Karl Raimund Popper (1902 - 1994), seorang filsuf Inggris dikenal karena penolakannya terhadap pandangan induktivis klasik tentang metode ilmiah yang mendukung falsifikasi empiris. Pandangan ini kemudian menjadi aliran filsafat Post-positivisme yang berkembang pada abad ke-20. Pandangan ini bukan sekadar merevisi positivisme, tetapi merupakan penolakan total terhadap nilai-nilai inti positivisme. .

Pendidikan dalam pandangan post-positivisme bukan hanya merupakan proses menemukan fakta atas pertanyaan ilmiah melalui kajian empiris dan obyektivitas penalaran, namun juga harus melibatkan faktor sosial dalam dinamika subyektivitas. Prof. PM. Laksono (2020) mengingatkan pentingnya memahami rumusan tujuan Pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang memuat peraturan tentang pendidikan dan pengajaran disekolah sebagai arah tujuan pendidikan secara jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 pasal 3 dicantumkan bahwa "Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang tjakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan masjarakat dan tanah air." Dalam perjalanan waktu, rumusan tujuan pendidikan kita yang dulu sangat jelas, kini semakin absurd dan bias kepentingan kekuasaan. Membangun karakter manusia susila yang cakap merupakan tujuan proses pendidikan bertumpu pada olah akal dan hati.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 mengingatkan kepada kita bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. 

Pendidikan semestinya menghasilkan manusia yang cerdas dan mulia, berkemampuan penalaran maju, dengan moralitas terpuji penuh ketulusan. Namun ironis jika proses pendidikan yang semestinya penuh dengan ajaran moral dan nilai sosial yang luhur harus dicederai dengan kebijakan ataupun implementasi program pendidikan yang kurang berkeadilan dan berkeadaban. Sementara itu, mungkin masih ada tindakan ataupun sikap tidak terpuji oknum insan pendidikan dan pengajaran yang tidak mencerminkan keluhuran budi pekerti. Salah satunya adalah tindakan komersialisasi pendidikan secara berlebihan sebagai bisnis yang menjanjikan, sering meninggalkan atau mengabaikan tanggung jawab dan nilai moral.

Dalam upaya menguatkan akuntabilitas pendidikan di Indonesia, maka partisipasi publik perlu kita revitalisasi. Partisipasi publik memberi kesempatan kepada para pemangku kepentingan untuk mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Partisipasi publik bermakna bahwa publik proaktif berkontribusi untuk mempengaruhi keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun