Momentum penting pembacaan keputusan MK atas sengketa pilpres 2024 pada 22 April 2024, selain akan menjadi tonggak perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia, juga akan menjadi tonggak penentu perjalanan ekonomi Indonesia kedepan.
Banyak pedagang valuta asing spekulan akan menukar rupiah ke US$. Hal demikian tentu sangat berisiko terhadap stabilitas makro prudential. Ada risiko nilai rupiah akan jatuh lebih buruk lagi di Rp 16.500/US$ di akhir April - pertengahan Mei 2024.
Prediksi Ekonomi Indonesia di Akhir 2024 akan diwarnai dengan tingginya angka inflasi dan krisis moneter yang hampir mirip situasi di tahun 1998.Â
Mencermati situasi politik dan ekonomi nasional serta internasional, maka Rupiah terancam risiko bisa melorot ke Rp 17.500 / US$. Jika terjadi situasi jatuhnya Rupiah, maka harga Solar terancam bisa tembus ke Rp 7.500 - Rp 8.000 / liter, dan harga pertalite terancam tembus ke Rp 12.000 - Rp 12.500.
Bahkan jika rupiah tembus Rp 18.000 / US$ maka posisi politis presiden baru akan labil, seperti saat terjadinya gerakan reformasi 1998.
PMI Indonesia naik menjadi 54,2 pada Maret 2024 dari 52,7 pada Februari 2024.  Angka ini menunjukkan  pertumbuhan aktivitas pabrik selama 31 bulan berturut-turut  sejak Oktober 2021.
Output Industri Pengolahan  tumbuh paling tinggi dalam 27 bulan menjelang hari raya Idul Fitri sementara pertumbuhan pesanan baru mencapai level tertinggi dalam tujuh bulan. Â
Angka Indeks manajer pembelian (PMI) Indonesia di Maret 2024 masih dalam zona ekspansi. Sehingga pelemahan rupiah cenderung diakibatkan oleh dampak faktor ekonomi global, namun juga diakibatkan dinamika ketidakpastian politik nasional.Â
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri (2024), dalam kapasitasnya sebagai ahli saat sidang di MK terkait sengketa Pilpres 2024 menyatakan ada korelasi antara penggelontoran beras di masa elektoral terhadap tidak terkendalinya harga sampai hari ini.
Sektor yang dirugikan atas terkontraksinya nilai tukar rupiah ini adalah sektor farmasi, dan industri pengolahan yang 90% bahan bakunya masih tergantung dari impor.
Pembelian bahan baku industri pengolahan, seperti pabrik garmen akan membayar dengan harga yang lebih mahal, dan akan menyebabkan biaya-biaya langsung produksi terus meningkat dalam kinerja keuangannya.