Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bahaya Munculnya Wangsa Presiden di Republik Indonesia Pasca Reformasi

29 Oktober 2023   23:09 Diperbarui: 30 Oktober 2023   19:00 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan opini berjudul "Transisi Kultur Monarki dalam Birokrasi di Indonesia" (Kompasiana, 13 Mei 2020), sangat relevan dengan situasi bangsa Indonesia dalam kutipan berikut ini :   

"Pasca kekuasaan monarki absolut, Inggris kemudian membangun pemerintahan sipil dengan tetap menjaga sistem monarki sebagai basis budaya tata pemerintahan dan simbol kebangsaan mereka. Pemerintahan sipil Inggris yang terbentuk disusun berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok dengan berbagai tujuan.

Thomas Hobbes pada tahun 1651 menulis buku 'Leviathan' yang secara harafiah adalah suatu monster mengerikan, untuk menggambarkan suasana carut-marut di Inggris pada waktu itu. Munculah kemudian teori Kontrak Sosial yang dipelopori Thomas Hobbes ini.

Indonesia saat ini kurang lebih sama dengan apa yang terjadi di Inggris pada tahun 1650-an, dimana muncul sesuatu yang mengerikan di masyarakat kita, seperti monster, binatang buas, Leviathan.

Teori kontrak sosial yang seharusnya terjadi dan mampu menjadi jaminan terhadap adanya perubahan sosial politik, tidak sepenuhnya terjadi demikian. Elemen-elemen bangsa kita diadu domba oleh 'Invisible Hand' yang memunculkan Leviathan besar dan Leviathan kecil. Satu golongan mengancam golongan lainnya, dan tiba-tiba muncul ancaman lagi dari sesuatu hal yang baru.

Mayoritas khalayak pendukung Jokowi, tidak pernah menduga bahwa beliau sebagai sosok pemimpin Jawa yang sederhana ternyata tidak bisa menghindari pusaran kepentingan pribadi dan keluarga. 

Kita perlu melakukan koreksi atas sistem bernegara yang justru "setback" ke era orde baru. Kekuasaan politik yang dikendalikan secara absolut tanpa mengindahkan pemisahan kekuasaan seperti dalam konsep teori "Trias Politica" tentu akan lebih buruk daripada rezim orde baru yang masih menjalankan sistem pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Republik Indonesia. 

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.

Ir. Soekarno

Ancaman absolutisme suatu Wangsa Baru dalam sebuah negara berbentuk Republik akan muncul jika kemudian sang putera Presiden lantas menang dalam pemilihan presiden di tahun 2024. 

Persoalan yang akan muncul jika tidak ada koreksi sistemik atas adanya sebuah kesalahan dalam praktek kekuasaan Yudikatif seperti yang dipertontonkan oleh Mahkamah Konstitusi tentunya tidak sesederhana tentang menangani sebuah kekecewaan dan ketidak percayaan publik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun