Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bahaya Munculnya Wangsa Presiden di Republik Indonesia Pasca Reformasi

29 Oktober 2023   23:09 Diperbarui: 30 Oktober 2023   19:00 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Presiden Joko Widodo berbicara di depan warga. (Foto: KOMPAS/YOLA SASTRA)

Saat itu rakyat Indonesia yang dimotori oleh gerakan mahasiswa, para aktivis pro demokrasi, akademisi, dan organisasi non pemerintah berjuang  menggulingkan rezim orde baru untuk menghilangkan negara Republik Indonesia dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

Nalar waras kita mengatakan bahwa dipilihnya Gibran merupakan simbol politik representasi Jokowi, dan sekaligus menunjukkan praktek nepotisme terbesar sepanjang sejarah republik ini. 

Sebuah adagium politik "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", tentu sangat relevan untuk menggambarkan situasi politik di Indonesia menjelang pemilu 2024. Adagium tersebut ditulis oleh sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902) saat beliau mengirim surat kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887

Kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korup, dan kekuasaan absolut itu korup secara mutlak. Sejak presiden pertama Ir. Soekarno, belum pernah ada satu presiden-pun di Indonesia yang tidak memiliki dukungan penuh dari partai politik mereka kecuali Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. 

Presiden Jokowi bisa jadi merasa "insecure" dengan PDIP menghadapi berakhirnya masa jabatan Presiden. Kekawatiran jika saat tinggal landas nanti terjadi guncangan tidak beralasan jika presiden memiliki kepercayaan diri atas integritas pribadinya. Banyak hal dilakukan untuk mencegah terjadinya "hard landing" masa kepresidenan Jokowi. 

Pilihan untuk melanggengkan pengaruh kekuasaannya justru kontra produktif dan menjadi citra buruk diakhir masa jabatan presiden. 

Pernyataan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dalam acara Konferensi Hukum Nasional di Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2023) sangat jelas menyatakan bahwa kehidupan bangsa Indonesia dalam berbagai sektor sedang tidak baik-baik saja.

Itu termasuk prahara hukum pasca putusan yang mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Senin (16/10/2023). 

Mahkamah memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Ketua MK diduga melakukan pelanggaran etik yang terkait dengan asas hukum "Nemo Judex in Causa Sua", dimana tidak boleh ada seorang-pun yang menjadi hakim untuk kasusnya sendiri. 

Menghindarkan bias kekuasaan Yudikatif dari Sang Paman yang memuluskan sepupu iparnya maju sebagai cawapres 2024 jelas bertentangan dengan logika awam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun