Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perang Rusia dan Ancaman Krisis BBM di Indonesia

5 April 2022   22:47 Diperbarui: 7 April 2022   20:06 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Total suplai industri OECD turun sebesar 22,1 mb di bulan Januari pada 2.621 mb, total persediaan minyak sebesar 335.6 mb di bawah rata-rata 2017-2021 dan pada level terendah sejak April 2014.

Stok industri mencakup 57,2 hari untuk permintaan ke depan, turun 13,6 hari dari tahun sebelumnya. Data awal untuk AS, Eropa dan Jepang menunjukkan bahwa saham industri turun 29,8 mb lebih lanjut di bulan Februari 2022 lalu.

Fluktuasi harga minyak sangat dinamis, dari sekitar $90/bbl di awal Februari setelah invasi ke Ukraina dan karena kekhawatiran pasokan minyak, sampai sempat menyentuh harga tertinggi hampir $140/bbl pada 8 Maret 2022.

Uraian analisa teknis dalam laporan Pasar Minyak menunjukkan potensi kenaikan harga minyak mentah yang sangat signifikan. Hal ini tentunya akan membuka risiko kenaikan harga pertalite sebagai produk BBM Pertamina yang dikonsumsi masyarakat sampai ambang batas psikologis konsumen di Indonesia, jika tidak ada kebijakan untuk mensubsidinya. 

Faktor politis di luar analisa pasar minyak adalah terkait dengan tindakan dari para aktor-aktor antagonis yang ikut bermain dalam krisis energi ini. 

Sebut saja, "Greenpeace" yang dalam aksinya telah menghadang dua Kapal Tanker Pertamina Prime yang tengah membawa minyak dari Rusia di perairan Denmark tanggal 31 Maret 2022 menuju Indonesia untuk memenuhi kebutuhan impor kita.

Sebut saja juga para aktor yang selalu mencari momentum untuk berjuang sebagai pihak oposisi pemerintah. Dalam situasi seperti ini, saatnya para pejabat pemerintah untuk mempertebal "sense of crisis"-nya dan dengan cekatan segera melakukan tindakan penyelamatan situasi darurat energi.

Harga yang dibayar akibat sebuah kelalaian kolektif akan sangat tinggi dibandingkan dengan harga sebuah prestige politik jika beberapa program strategis Nasional terpaksa dibatalkan atau ditunda demi untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia dari ancaman resesi ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun