Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Masturbasi Politik dan Syahwat Kekuasaan

10 Desember 2020   06:47 Diperbarui: 10 Maret 2024   07:30 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih setahun lalu, pada tanggal 17 April 2019, Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan Pemilihan Umum yang kita percaya sebagai salah satu proses penentuan para wakil rakyat, Presiden,  dan Wakil Presiden secara konstitusional.  Kita lalui dinamika Pilpres dan Pileg 2019 dengan lika-liku dialektika konfliktual yang berujung dengan negosiasi dan konsensus kekuasaan. Banyak persoalan kekerasan sosial terjadi sebagai imbas residu persoalan politik elektoral yang belum selesai dan muncul sebagai konflik horisontal.

Penghujung tahun 2020 ini, kita akhirnya bisa menyelenggarakan Pesta demokrasi untuk pemilihan kepala daerah ditengah gejolak Pandemi Covid-19. Perhelatan besar Pilkada serentak di 270 wilayah di Indonesia yang terdiri dari 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota telah usai digelar tanggal 9 Desember 2020. Kita mengalami berbagai hal baik dan buruk dalam siklus politik ini.  

Salah satu realita wajah buruk imbas proses demokrasi di Indonesia adalah fenomena ancaman disintegrasi bangsa. Proses demokrasi kita memang masih terasa kental diwarnai dinamika politik identitas dan politik dinasti yang sangat mengancam kohesifitas sosial negeri ini.

Pengentalan menurut keyakinan dan afiliasi politik terjadi hampir di semua strata sosial. Betapa buruknya sampai tidak sedikit relasi pertemanan terpecah, keluarga terbelah dan masyarakat terpisah oleh aspirasi politik yang berbeda.

Perbedaan aspirasi politik itu sejatinya adalah sesuatu yang normal dan secara alamiah pasti terjadi.  Persoalan kemudian muncul saat perbedaan aspirasi politik ini diperoleh dengan memanipulasi heterogenitas masyarakat. 

Keberagaman yang seharusnya disyukuri sebagai suatu karunia dan konsep Tuhan untuk menunjukkan keindahan dan kekayaan Bangsa Indonesia, telah dimanfaatkan dengan upaya membangun persepsi buruk bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan majemuk yang mencemaskan dan harus dirubah. 

Penajaman perbedaan ini kemudian meluas melalui rekayasa politik dengan menggunakan isu etnisitas, agama dan keyakinan yang majemuk. Hal ini menimbulkan pengentalan masyarakat menurut perbedaan-perbedaan yang dibungkus oleh kepentingan kelompok berbasis identitas sosial.

Kepentingan bersama kelompok-kelompok ini diperjuangkan salah satunya melalui jalan perjuangan politik. Dalam hal perjuangan politik, hal yang sangat dibutuhkan adalah mandat dari kelompok. Mandat sejatinya adalah hal yang diberikan oleh pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi yaitu rakyat.  

Namun saat ini mandat terkesan justru diminta oleh penguasa atau calon penguasa dengan pemilu sebagai sebuah rekayasa  politik untuk melegitimasi kekuasaan melalui pemungutan suara. Rekayasa kemudian dilakukan lagi dengan menggunakan dalil atau kaidah sosial yang identik dan sangat emosional menyentuh identitas golongan dari kelompok-kelompok untuk menjustifikasi mandat perjuangan politik tersebut.

Perjuangan politik ini memiliki spektrum yang luas mulai dari gagasan politik sampai peperangan. Setiap orang bisa saja memiliki gagasan politik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Gagasan politik tersebut sebagian akan hadir dalam ruang pemikiran dan melahirkan imajinasi politik ideal, sementara sebagian lagi melalui imajinasi politik kepentingan yang cenderung pragmatis.  

Imajinasi ini bisa jadi menjadi bagian dari romantika sejarah untuk menghadirkan lagi kejayaan masa lalu. Namun imajinasi tadi bisa juga menghadirkan hal baru yang berdasarkan pada proyeksi terpenuhinya tujuan dan kepentingan politik.

Setiap kelompok pasti akan berjuang keras untuk menjustifikasi bahwa arah dan tujuan politik merekalah yang paling benar. Justifikasi ini mereka hadirkan dalam bentuk presentasi rupa wajah politik yang memuaskan dan bisa menjamin kebahagiaan kehidupan bersama melalui hadirnya suatu tatanan negara berikut pelayanan pemerintahnya yang baik.  

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi selalu dirayu dengan janji kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Pemimpin bangsa seharusnya memegang dan menjalankan amanah Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Politik di Negara Indonesia seharusnya dijalankan dalam pijakan kepentingan Nasional seperti yang tertulis pada pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tersebut.

Realitanya banyak para politisi yang hanya memuaskan syahwat kekuasaan tanpa memikirkan kepentingan Nasional yang lebih tinggi. Syahwat politik kekuasaan akan menafikan idealisme kepentingan nasional dan bahkan cenderung untuk berorientasi pada pencapaian kenikmatan personal ataupun kolektif.  

Dalam fenomena memuaskan syahwat politik ini sering terjadi aktivitas masturbasi politik. Masturbasi politik disini artinya adalah kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan rangsangan atau stimulasi sehingga terpuaskanlah syahwat politik personal ataupun kelompok. 

Ragam kegiatan bermasturbasi politik ini juga sangat beragam, mulai dengan menciptakan figur imajiner lawan politik, mendesain narasi yang menyerang lawan politik, sampai melakukan reproduksi citra dan propaganda untuk menguatkan posisi politiknya sambil melemahkan posisi politik lawan. Kegiatan politik tersebut tentu tidak efektif dan hanya memberi kepuasan sesaat karena betapapun upaya itu tidak pernah masuk pada ruang substansi demokrasi yang dialektis.

Masturbasi Politik di Dunia Maya 

Pengentalan aspirasi politik dengan memanipulasi perbedaan identitas elemen kebangsaan tadi, salah satuya sangat kuat dipengaruhi oleh kegiatan masturbasi politik di dunia maya. Jutaan byte terkirim setiap hari dalam bentuk video maupun gambar terkait dengan sang idola politik. Sirkulasi video dan gambar baik berupa meme politik, foto, infografis melalui media sosial ini anehnya sebagian besar hanya berputar diantara kelompok pendukung. 

Kegiatan ini cenderung bersifat involutif dimana akan mengakibatkan yang benci akan semakin benci dan yang memuja akan semakin buta. Kampanye demikian bukanlah kampanye cerdas melainkan hanya kegiatan bermasturbasi politik.  Kepuasan syahwat politik sesaat adalah pencapaian yang paling nyata.

Pemilu & Demokrasi
Pemilihan Umum memang menjadi pilihan sekaligus konsekuensi sebuah sistem demokrasi dari suatu negara.  Gagasan tentang demokrasi ini sudah dipraktekkan sejak 508-507 SM oleh Cleisthenes, yang juga disebut sebagai "bapak demokrasi Athena".

Istilah "demokrasi"  berasal dari kata Yunani (dmokrata), yang makna harafiahnya adalah dipimpin oleh rakyat. Pilihan sebuah sistem pemerintahan Negara Indonesia yang demokratis sangat jelas meletakkan kepentingan bersama rakyat yang hadir dalam kepentingan nasional sebagai kepentingan tertinggi. Kepentingan Nasional jauh lebih tinggi dari kepentingan apapun dimana rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, bukan para politisi.

Seorang ilmuwan politik dari Amerika Larry Diamond menyampaikan ada empat (4) elemen demokrasi yaitu pertama adalah adanya sistem politik untuk memilih dan menempatkan suatu pemerintah negara melalui pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil. 

Elemen kedua adalah partisipasi aktif rakyat sebagai warga negara dalam politik dan dalam hal kehidupan kebangsaan serta kewargaan. Elemen ketiga adalah perlindungan Hak Asasi Manusia seluruh warga negara. Hal keempat adalah penegakkan hukum dimana hukum diterapkan secara adil terhadap seluruh warga negara.

Keempat elemen demokrasi tadi memang sudah ada di Indonesia, namun keberadaannya masih sangat terbatas pada formalitas demokrasi. Hal ini tentunya membutuhkan satu kesadaran dan kecerdasan kolektif Bangsa Indonesia.  

Kesadaran bahwa substansi demokrasi harus tercermin dalam kebudayaan demokrasi melalui ruang dialektika yang sehat dimana kepentingan Nasional haruslah menjadi pijakan bersama. Kecerdasan dibutuhkan untuk membedakan politik yang cerdas dan bermartabat dengan politik yang bodoh dimana oknum politisi serta pendukungnya sering melakukan manipulasi maupun masturbasi politik. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun